BAB - 4 - Gloryo

184 14 0
                                    

Pintu kamar gue terdengar terbuka dengan langkah keras yang gue yakini sengaja dia  lakukan. Dan gue tahu siapa itu.

"Bangun deh lo! Semua orang udah nungguin lo buka oleh-oleh ya!"

"Lo bangunin gue cuma karena itu?" Gue sudah bangun sejak beberapa menit lalu, tapi masih meringkuk di dalam selimut dengan mata tertutup. Tadinya mencoba untuk kembali tidur, tapi jelas sekarang tidak akan bisa kalau manusia satu ini sudah datang.

Dia begitu saja menarik selimut dari tubuh gue. "Iya lah, cepat bangun!"

"Bentar lagi kenapa sih?!"

"MAMMMM..." Dia sudah berteriak seperti kebiasaannya.

"Diem deh lo gue masih ngantuk!" Tangan gue ikut menarik selimut yang sudah membuka setengah tubuh gue.

"MAMMMM... aaakkk!!!"

Ganesh berteriak karena kepalanya gue masukan ke dalam selimut sesaat setelah gue buang angin. Tangan gue bergerak menahan kepalanya agar tidak bisa keluar dari kukungan selimut maut itu. Dan bukan Ganesh namanya kalau tidak menjadi ganas. Dia berhasil menarik rambut gue hingga menjambaknya keras-keras. Dan tentu saja kini gantian gue yang berteriak.

Sebenarnya gue nggak sudi ya punya kembaran cewek galak macam Ganesh. Tapi ya gimana, dia berakhir lahir dari perut yang sama dengan gue. Di waktu yang bersamaan pula. Belum lagi dengan wajah kami yang selayaknya anak kembar identik. Mirip. Plek ketiplek.

Ganesh lahir 5 menit lebih dulu dari gue dan kata orang-orang, dialah yang menjabat sebagai adik karena lahir duluan. Kakaknya ngalah dan lahir terakhir. Katanya sih begitu. Dan gue pun mengamininya karena bangga menjadi kakak. Karena dengan title itu, gue merasa lebih tinggi dari Ganesh. Tapi tidak semudah itu, Ganesh yang tahu dirinya lahir duluan malah mengaku sebagai kakak dan mengatakan jika cerita kakak yang mengalah agar adiknya keluar duluan adalah omong kosong.

"Siapa pun tahu kalo yang lahir duluan itu kakaknya. Jangan ngaku-ngaku ya lo." Katanya waktu kami masih SD. Ada kebanggaan penuh serta kesombongan pada sorot matanya kala itu. Karenanya, Ganesh selalu merasa sebagai 'kakak' dan gue tidak boleh membantah dia dalam hal apapun. Dia dengan semena-mena menyuruh gue ini itu walaupun tidak pernah gue lakukan.

Dulu, kami sering bertengkar. Tapi makin bertambahnya umur, hal-hal seperti itu semakin berkurang. Ganesh tumbuh menjadi wanita dengan high value dan itu menjadi tidak mengasyikan lagi. Dia lebih dulu menjadi orang yang berpikiran dewasa daripada gue. Dia menjadi wanita yang bertutur kata baik -tapi masih berkata kotor hanya kepada gue. Makanya, gue suka iseng gangguin dia untuk mengenang dan membangkitkan energi ganas dalam dirinya seperti masa kecil kami dulu. Dan ya, itu cukup berhasil. Ganesh si ganas adik gue tercinta nyatanya masih orang yang sama, dulu maupun sekarang. Ya begitulah jika memiliki saudara. Kita tidak bisa hidup bersamanya, tapi kita juga tidak bisa hidup tanpanya.

I mean it.

Gue yang akhirnya bangun sudah mendapati anggota keluarga di ruang TV. Tampak benar-benar menunggu oleh-oleh gue yang beberapa hari lalu baru kembali dari Vietnam. Dan seperti kebiasaan gue, kulkas di bawah tangga yang khusus berisi Coca-Cola kemudian gue ambil dan minum dengan hikmat.

"Lo pikir sehat minum Coca-Cola terus stupid fuck!"

"I don't give a damn. All I need it's a cola." Dan gue bersendawa keras di depan wajah Ganesh dan membuat tangannya yang secepat cahaya memukul kepala gue beberapa kali dalam beberapa detik saja.

"So."

Plak.

"Fucking."

Plak.

"Gross!"

Plak.

Gue langsung menghindar saat kemudian dia hendak menendang kaki gue. Tak lupa sebelum benar-benar menjauh gue bersendawa lagi  untuk kedua kalinya.

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang