BAB - 41 - Kaluna

98 11 0
                                    

Aku memekik saat tengah gosok gigi dan merasakan perih di bibir bagian dalam. Mendekat ke cermin wastafel, aku bisa melihat sariawan yang membengkak di sana. Meski tidak terlalu besar, tapi nyatanya cukup sakit juga. Aku jarang sekali sariawan, dan tidak tahu apa penyebabnya kali ini.

Hariku tentu tidak akan mudah selama masih ada benjolan ini di mulutku karena harus menghindari makanan pedas beberapa hari.

Hah... seblak.

Sudah berapa hari aku tidak memakannya?
Pekerjaanku tidak banyak hari ini sehingga aku sedikit senggang untuk memilih pergi ke ruangan Mas Dave yang berbanding terbalik denganku. Dia tampak sibuk di depan komputer dengan setumpuk berkas di sampingnya.

"Aku ganggu nggak?" Tanyaku begitu melongok kan kepala di celah pintu yang aku buka.

"Nggak lah Kal. Justru bagus karena ada yang nemenin aku."

Aku berakhir membantu pekerjaan Mas Dave yang dia terima dengan senang hati. Kasihan juga dia harus lembur dan menempuh jarak jauh untuk pulang ke rumah. Mas Dave sangat berterima kasih padaku karena sudah membantunya, tak lupa menawarkan untuk mentraktir makan siang besok. Tadinya dia mau makan malam hari ini, tapi baru saja Mami mengirimiku pesan jika dia membuat herbal untuk rambut. Aku pernah bercerita jika rambutku rontok, dan ya, Mami selalu mengingat tentangku dengan perhatian-perhatiannya itu.

Tadinya aku akan memberi alasan lagi agar tidak ikut bergabung makan malam di rumahnya karena apa yang terjadi terkahir kali antara aku dan Glo. Tapi rasanya tidak enak juga jika aku menolak lagi kebaikan orang. Kalau kata Mama mah Pamali.

Aku akhirnya sampai di rumah luas itu saat keluarga mereka sudah bersiap-siap untuk  makan malam. Ada Ganesh dan keluarga kecilnya juga yang menyambut ku dengan senang hati. Apalagi kalau bukan tentang apa yang terakhir kali kami lakukan pada kartu kredit Glo itu.

"Kaluna..." Dia mendekatiku lalu berbisik pelan. "Glo bilang apa tentang kartunya?"

"Cuma ngomel, bilang kalo 77 juta bisa buat beli berapa banyak krat Coca-Cola."

Ganesh terkikik. "Ke gue dia nggak ngomel sih. Lo pake tas nya juga?"

Aku menatap tas kembar yang kami beli beberapa hari lalu dengan kartu milik Glo.

"Gue juga pake."

Dan kami terbahak bersama di saat mataku mencari keberadaan Glo yang kemudian muncul dari taman belakang sambil mengelap wajahnya dengan baju hingga perutnya terlihat jelas.

Dan saat itu sekelebat ingatan tentang malam itu muncul di kepalaku.

Stop Kal, itu cuma perut!

Iya cuma perut, perut yang membuatku menelan ludah sekarang.

Dan seperti yang kalian tahu, Glo mengambil tempat duduk tepat di sebelahku begitu saja.

"Baru datang lo?" Tanyanya datar.

"Hm." Aku membalas tanpa menoleh. Bau keringat Glo yang bercampur dengan parfum bisa ku cium dengan bebas. Parfum yang rasa-rasanya tidak pernah dia ganti dan seolah itu sudah menjadi identitasnya.

Chanel nomor berapa ya?

"Hm!" Dia menirukan gumaman ku dengan cara yang lebih menyebalkan. "Dingin banget lo kek AC ATM."

Apa setidaknya aku harus terkekeh sekarang?

Tidak, aku malah melirik Glo yang sudah tersenyum untuk leluconnya sendiri.

Acara makan malam di kelurga Glo dan Ganesh jelas selalu menyenangkan. Selalu ada banyak hal yang mereka bahas. Apalagi Papi, pria itu selalu menjadi point utama saat makan malam. Sebelum Mang Muki datang -masih dengan helmnya, mengatakan kalau pohon pinang pesanan Papi sudah sampai. Semua orang menoleh ke arah taman belakang saat beberapa orang sudah membawa pohon pinang yang cukup tinggi itu melalui halaman samping.

Dan saat itulah Glo menyendok kan beberapa butir bakso capcay ke piringku.  Mataku kembali pada semua orang di meja makan yang masih memperhatikan proses pohon pinang. Entahlah, aku hanya tidak mau siapapun melihat aksi Glo itu. Lagipula, apa-apaan dia?!

Menoleh ke kanan, aku mendapati Glo ternyata sedang menatapku juga.

"Gue suka bakso capcay, tapi kali ini gue kasih ke lo deh." Katanya sedikit berbisik seolah mengerti jika aku tidak nyaman kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya selain diriku sendiri.

"Why?" Tanyaku dengan suara yang sama kecilnya dengan bisikannya tadi.

Dia hanya tersenyum saat menyuap nasinya. Dan begitu saja dia mengelus kepalaku yang langsung aku hindari dengan menarik kepala secepat kilat.

Tentu saja ini karena Glo yang masih ingin menggodaku untuk apa yang sudah terjadi diantara kami. Tak lupa aku menginjak kakinya di bawah meja sebagai peringatan yang hanya dia tanggapi dengan menahan senyum.

"Oh iya Kal."

Suara Ganesh membuatku cukup terkejut saat langsung menatapnya di seberangku.

"Ya?"

"Ini, sambel yang gue beli dari temen gue. Baru datang tadi, dan pedes banget. Lo pasti suka. Cobain deh."

Aku mengangguk dan menyendok sambal botolan itu ke piring saat Papi dan Mami, dan Mas Lud pergi ke taman belakang untuk melihat pohon pinang itu.

Tapi seketika aku baru ingat sesuatu saat kembali menatap Ganesh. "Gue baru ingat gue lagi sariawan."

"Oh ya?" Ganesh menatapku beberapa detik sebelum beralih menatap Glo. "Lo juga sariawan kan Glo?"

"Hm. Nggak tahu kenapa." Glo memutar kepalanya kembali ke arahku. "Apa karena ketularan pas ciuman, ya?"

Dan aku terdesak tanpa permisi, buru-buru meraih gelas dan meneguk isinya.

"Ketularan?" Ganesh mengulang kata itu sambil perlahan menyipit curiga menatap aku dan Glo. Di bibirnya terselip senyum jahil yang menyebalkan.

"Apa ada sesuatu yang nggak gue tahu?"

"APA?" Suaraku otomatis meninggi yang begitu saja membuat senyum Ganesh makin lebar. "Lo nggak mikir gue sama Glo ciuman kan?" Aku terkekeh seolah-olah kecurigaan Ganesh adalah hal yang paling lucu di dunia.

"Lho, emang nggak?" Ganesh masih saja memasang raut yang sama.

"Ya nggak lah!" Aku terkekeh lagi dan menepuk lengan Glo. "Ya kali."

"Iya ya. Ya kali. Palingan Glo cuma kasih lo bakso capcay." Dan mata Ganesh menatap piringku lurus-lurus sebelum menatapku dengan senyum penuh arti.

Tamatlah riwayatku...

Telepati mereka sepertinya benar-benar bekerja. Kini saudara kembar itu jelas akan terus menggodaku.

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang