BAB - 50 - Gloryo

95 13 4
                                    

Dengan segelas alpukat kocok, gue mendekat ke arah Kaluna yang tampak selalu meladeni Doni. Kini mereka sedang bermain suten gunting batu kertas. Dan dia tidak lagi memakai masker yang sejak tadi dia pakai. Dia berakhir memilih bodo amat dengan bibirnya yang sedikit membengkak itu.

"Nggak makan lo?"

"Masih kenyang, sayangnya sebelum ke sini gue udah makan." Jawabnya menatap gue sekilas dan kembali sibuk dengan Doni yang udah ketawa tiap dia kalah.

"By the way, banyak banget anjing-anjing yang lucu di sini. Gue boleh adopt, nggak?" Kaluna bertanya waktu Doni udah pergi karena kebelet.

"Khusus buat Lo nggak boleh karena lo aja nggak becus ngurus diri sendiri." Gue menyeruput alpukat kocok di tangan gue lewat pipet yang kemudian di rebut oleh Kaluna gitu aja. Dia mencicipinya tanpa permisi.

"Kek becus aja Lo ngurus diri sendiri!" Balasnya sambil melirik gue. "Gue boleh adopt ya? Satuuu... aja."

"Lo kira punya peliharaan itu hal sepele kek cara hilangin bekas cupang di leher?"

Dia menoleh menatap gue dengan raut datarnya lalu memutar bola mata.

Kami terus berdiri di depan kandang anjing-anjing kosong itu sambil sama-sama melihat kesibukan yang kini sedang terjadi di shelter. Pokoknya khusus hari ini tempat penampungan itu cukup rame.

"Jadi yang mana nih?" Dia menoleh lagi setelah cukup lama kami terdiam. "Jenar, Encha atau Dokter Angel?"

Gue ikut menoleh menatapnya.

"Semuanya gue approve. Jenar anak orang kaya, Encha pekerja keras, dan Dokter Angel jelas berpendidikan tinggi."

Gue merebut balik alpukat kocok gue dari tangannya tanpa menghiraukan ucapannya lagi.

Maksud gue, kenapa gue harus milih sih?

Encha harus pergi lebih dulu karena ada sedikit masalah di restoran. Dokter Angel pun begitu karena katanya harus menghadiri sebuah acara. Suasana shelter udah nggak serame tadi hingga kini meninggalkan gue, Jenar dan Kaluna yang sibuk melihat-melihat anjing di shelter. Dan gue teguh dengan omongan gue kalau Kaluna nggak boleh adopt satupun dari mereka saat dia terus membahasnya.

"Please... Satu aja..."

"Nggak." Balas gue datar tanpa menatapnya. "Even you do nothing di apartemen karena Lo males. Ini segala mau ngerawat anjing." Tambah gue yang dia hadiahi dengan pukulan di pantat gue sebelum mendekat ke arah Doni yang tampak sedang mencarinya.

"Kenapa kamu nggak percaya kalau Kaluna bisa rawat anjing yang dia mau? Dia kayaknya pengen banget deh."

"Dia nggak becus dan gue khawatir ntar anjing yang dia adopt malah sengsara."

Sore itu gue dan Mas Sanusi mengobrol banyak tentang apa saja yang harus di perbarui untuk membuat semua anjing-anjing di shelter merasa lebih nyaman. Tentu aja dengan Jenar yang sejak tadi selalu berada di dekat gue. Dia bahkan nggak bosan saat mendengarkan obrolan gue dan Mas Sanusi yang udah ke mana-mana. Dari urusan shelter sekarang udah bahas mobil antik.

Di ujung sana, di depan kandang anjing-anjing kosong tempat biasa Doni nongkrong karena ada kursi panjang tadi, Kaluna dan Doni lagi ketawa-ketawa entah karena apa. Pokoknya dari tadi mata gue hanya menatap ke sana.

"Hey, kamu denger aku nggak sih?" Jenar mengelus pipi gue saat gue mengalihkan pandangan padanya. Mas Sasuni udah pergi sejak beberapa menit lalu, dan kini gue hanya dengan Jenar sambil duduk di pagar semen di bawah pohon jambu yang rindang.

"Ya?"

Bibir Jenar merengut. "Kamu liat apa sih?"

"Nggak ada. Cuma bengong." Jawab gue asal lalu menghisap rokok di antara jari.

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang