"Ini nama mobilnya apa?" tanya Azkiya sembari mengotak-atik ponselnya.
Sedangkan Haikal di sisinya, bersiap untuk menjalankan mobil.
"Mobil ini? Kenapa emang?"
Haikal malah bertanya balik, membuat Azkiya melirik bete.
"Aku mau lihat di internet, harga mobil ini berapa."
Senyum di wajah Haikal muncul setelah mendengar jawaban Azkiya. Ia pun mengucap 'bismillah' kemudian mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang.
"Murah kok. Gak semahal gengsi kamu yang gak mau mengakui kalau kamu jatuh cinta sama aku."
"Issshhh!!" Azkiya mencubit keras lengan Haikal dan suaminya mengaduh sakit sambil tertawa.
Karena persoalan mobil tidak dijawab oleh Haikal, Azkiya merubah topik pembicaraan karena salfok dengan outfit yang dikenakan Haikal hari ini.
"Tumben kamu mau pakai sarung yang mahal itu?"
Ditanya seperti itu, Haikal melirik sarung warna biru yang dikenakannya kini. Kado pernikahan dari teman santri pondok lain.
"Aku berani pake sarung ini kalo lagi gak bersama Abah Yai atau keluarganya. Ta'dzim namanya."
Hampir saja Azkiya tidak menahan diri untuk mengatakan kalau Haikal ini idaman.
Ia simpan rapat-rapat pujian itu dalam hati. Takutnya kalau diutarakan, suaminya akan besar kepala dan salting selama beberapa hari.
"Yang ... foto selfi dong," pinta Haikal tiba-tiba.
"Buat apa?"
"Mau pap keluarga kalo aku lagi otw ke rumah mertua."
Azkiya segera membuka fitur kamera di ponselnya dan mengarahkannya pada Haikal yang sedang fokus mengemudi.
"Yang, bukan aku doang yang difoto. Tapi kita selfi berdua loh! Kalo aku doang yang difoto, nanti dikira pergi sama selingkuhan."
Azkiya mencebik kesal dengan jawaban Haikal. Ia merubah kamera ponselnya jadi kamera depan dan mengarahkannya pada mereka berdua.
Tiga foto diambil, Azkiya menurunkan ponselnya.
"Lagi dong, Sayang. Posisinya kamu lagi manja sama aku gitu loh. Bersandar di bahuku."
"Gak!" tolak Azkiya tanpa pikir panjang.
Ia sibuk dengan ponselnya, mengabaikan raut wajah Haikal yang kasihan sekali.
***
Delapan jam perjalanan, akhirnya mobil yang dikendarai Haikal mulai melewati gapura desa.
Azkiya menyentuh bagian dadanya dan merasakan debaran jantungnya yang abnormal.
"Mas, aku kok deg-degan banget ya."
Azkiya menoleh pada Haikal yang justru terlihat santai akan bertemu dengan keluarga besar istrinya.
"Deg-degan kenapa? Takut diciduk hansip kampung? Kan kita udah sah. Mau ngelakuin apapun, bebas. Asal jangan ngebet berbuat di mobil. Tunggu sampai di rumah."
Memang salah berbagi keluh kesah dengan Haikal yang responnya selalu di luar nalar.
Azkiya membuka ponsel untuk mengabari pada keluarganya kalau ia sudah dekat.
Ini pertama kalinya dalam hidup Azkiya pulang bersama laki-laki yang syukurnya sudah berstatus sebagai suaminya.
Selama pernah dekat dengan laki-laki, Azkiya tidak pernah mengenalkannya pada keluarga. Apalagi membawanya berkunjung ke rumah.
Tidak pernah sama sekali. Jadi Haikal haruslah berbangga hati menjadi laki-laki pertama yang ia bawa pulang ke rumah.
"Wow!! Rame banget. Udah kaya mau nyambut presiden saja," celetuk Haikal.
Azkiya melihat di depan rumahnya sudah terpasang tenda pernikahan dan banyak tetangga sedang menunggu kedatangannya bersama Haikal.
"Duh! Malu banget," kata Azkiya.
Setelah memarkirkan mobil, Haikal lebih dulu turun dan membukakan pintu untuk Azkiya.
Begitu mereka keluar dari mobil, kakak ipar Azkiya mendekat sembari membawa payung yang sudah dibuka.
Pengantin baru itu dipayungi selama berjalan menuju rumah.
Lalu tiba-tiba para tetangga ricuh saat anggota keluarga menyawer sang pengantin dengan melempar banyak uang koin maupun uang kertas.
Azkiya dan Haikal terkunci di antara para tetangga yang rebutan mengambil uang yang dilempar ke berbagai arah.
"Wow!! Seru banget," ucap Haikal takjub.
Laki-laki itu merangkul posesif tubuh Azkiya dari samping, takut kesenggol tetangga yang rebutan ambil uang yang disawer.
"Aduh!" Azkiya menunduk saat ada yang tak sengaja menginjak kakinya.
Momen sawer-saweran ini entah kapan selesainya.
"Kenapa sayang?" tanya Haikal khawatir.
"Ini kakiku ada yang nginjek."
Azkiya berpegangan pada lengan Haikal, takut ada yang menyenggolnya lalu jatuh.
Tapi kemudian laki-laki itu secara mengejutkan langsung menggendong tubuh Azkiya ala bridal style.
"Mas?!" pekik Azkiya kaget.
"Nggak apa-apa. Kita harus pamer keromantisan sebagai pengantin baru."
Tentu saja keduanya jadi pusat perhatian para tetangga dan mereka menyerukan kata 'cie' dan suit-suitan selama Haikal menggendong Azkiya sampai dalam rumah.
Ibu menyambut keduanya dengan tangisan haru dan bahagia. Tak henti-hentinya Ibu menciumi Azkiya dan menantu kesayangannya itu.
"Langsung makan ya. Pasti kalian laper."
Berbagai menu makanan dihidangkan ibu untuk mereka berdua. Para saudara yang kepo dengan wajah suami Azkiya, curi-curi lihat dari arah dapur.
Haikal yang menyadari itu tersenyum senang.
"Aku bersyukur banget dipertemukan dengan perempuan yang memiliki keluarga besar kaya ini," ucapnya.
Sembari menikmati makanan, Haikal mengajak Azkiya untuk mengobrol juga.
"Sebagai anak tunggal, mungkin kamu akan kaget sama berisiknya keluarga juga saudara-saudaraku kalo lagi kumpul bersama. Aku minta maaf ya, kalau kamu nantinya akan merasa terganggu," jelas Azkiya.
"Sama sekali ndak merasa terganggu, Sayang. Aku justru sangat bahagia. Terima kasih yerkata tulus pada Azkiya.
Dan Azkiya paham betul dengan pandangan miring masyarakat di kampung tentang anak-anak yang mondok pesantren.Mereka menganggap para santri terlalu fokus mengejar akhirat sampai tidak memiliki kesuksesan dunia.
"Iya Ibu, sama-sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Mbak Santri
Teen Fiction( BISMILLAH PROSES TERBIT ) "Jodoh santri ya santri lagi." Di dunia pesantren, adat perjodohan sudah menjadi hal biasa yang sering terjadi. Azka Azkiya merasakan hal itu di tahun kedelapan dirinya nyantri di pondok pesantren Al-Furqon. Abah Yai menj...