Keduanya duduk di pinggir pantai, bersentuhan langsung dengan pasir putih.
Hari semakin beranjak sore dan langit mulai berubah jingga dengan indahnya.
"Haikal."
Kali pertama Azkiya memanggil suaminya dengan nama asli, tanpa embel-embel Kang atau Mas.
Sontak saja membuat Haikal menoleh dengan ekspresi kaget campur tak terima.
"Gak sopan!" serunya.
Azkiya tersenyum. "Haikal sayang."
Dan ekspresi wajah Haikal bisa cepat berubah dalam hitungan detik. Laki-laki itu tersenyum manis pada Azkiya.
"Dalem, Azkiya sayang?"
"Aku mau tanya."
Obrolan hangat dimulai saat langit sedang indah-indahnya menenggelamkan matahari.
"Kejadian apa yang membuat kamu jatuh hati dan seberusaha itu untuk bisa dapetin aku? Padahal aku santri biasa. Gak hafal Alfiyah, gak hafal 30 juz dan aku gak cantik-cantik banget. Apa alasannya?"
Mungkin hampir semua perempuan di dunia ini pernah menanyakan hal itu pada pasangannya.
Haikal tidak merasa keberatan untuk menjawab pertanyaan ini.
"Begini Azkiya sayang. Satu tahun pertama aku mondok, full kegiatanku cuma ngaji. Tahun kedua aku mulai bosan, ingin sesuatu yang berbeda. Lebih dari itu, aku ingin mendapat barokah langsung dari Abah Yai jalur mengabdi."
"Sebagai santri, tentu kita akan mendapatkan barokahnya Kyai. Tapi rasanya beda saja ketika kita mengabdi dengan suka rela, membantu tanpa bayaran."
Azkiya setuju dengan itu. Sering Abah Yai menceritakan tentang abdi ndalem yang ikhlas mengabdi, kemudian sukses jadi orang.
Walau mereka jarang ikut ngaji, tapi setelah keluar pondok bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Kerjaannya masak di dapur, tapi saat terjun ke masyarakat sangat berguna.
Kerjaannya selalu mencuci mobil Abah Yai, mengantar ke sana kemari, tapi pulang ke rumah bisa jadi penceramah. Atau bahkan ada yang sampai menjadi Kyai besar.
Semua yang pernah mondok percaya kalau barokah Kyai itu benar adanya.
"Kalau kamu bilang bukan santri yang hafal Alfiyah, hafal Qur'an, sama .... aku pun begitu. Tapi semoga keturunan kita nanti ada yang bisa jadi hafidz, juga hafal Alfiyah."
Azkiya meng-aminkan serius dalam hati.
"Sederhana saja Azkiya sayang. Aku ingin punya istri yang sama-sama ngabdi pada Abah dan Ibu nyai. Biar sama-sama punya pengalaman enak dan tidak enaknya jadi abdi ndalem yang jarang pulang. Lebaran pun seringnya di pondok."
Tangannya sedang berada dalam genggaman Haikal. Dan laki-laki itu sedang memainkan cincin pada jari manis Azkiya sambil terus bercerita.
"Ada yang bilang jodoh santri tidak harus santri lagi. Tapi aku tidak mau. Aku harus tetap menikah dengan sesama santri, yang satu guru, yang satu almamater. Agar tawasulnya nyambung pada satu guru, agar sanad keilmuannya sama. Dan aku memilih kamu, Azkiya sayang."
Dari tadi Azkiya hanya menjadi pendengar yang menahan salting karena cerita suami bucinnya itu.
Tak henti ia mengucap syukur berjodoh dengan laki-laki seperti Haikal An-Nawa.
"Terimakasih, Mas. Kamu membuatku merasa istimewa."
Haikal tersenyum. Kemudian mengecup jari-jari Azkiya di mana cincin pernikahan mereka berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Mbak Santri
Teen Fiction( BISMILLAH PROSES TERBIT ) "Jodoh santri ya santri lagi." Di dunia pesantren, adat perjodohan sudah menjadi hal biasa yang sering terjadi. Azka Azkiya merasakan hal itu di tahun kedelapan dirinya nyantri di pondok pesantren Al-Furqon. Abah Yai menj...