"Mas, lusa kita ke kampung. Persiapan resepsi di rumahku sudah hampir selesai. Kamu gak ada jadwal nganter Abah Yai ke mana gitu?"
Satu jam setelah menghabiskan dua kodi sate, pasutri baru tersebut kembali masuk ke dalam kamar dan mulai sibuk membuka satu persatu kado sembari mengobrol.
"Insya Allah ndak ada. Aku udah izin cuti sampe selesai resepsi di rumah kamu. Kita perlu bawa apa aja buat oleh-oleh keluarga di rumah?"
"Gak usah bawa apa-apa. Dan yang terpenting kamu gak usah nyewa mobil lagi kaya kemarin. Kita pulang naik kereta aja."
Azkiya sungguh menghindari omongan tetangga jika pulang dengan mobil mewah yang aslinya mobil sewaan.
Kalau ketahuan, sudah pasti keluarganya tak henti jadi bahan pembicaraan orang-orang kampung.
"Lah?! Ngapain naik kereta? Punya mobil loh harus dimanfaatkan dengan baik."
"Punya mobil? Kan kamu bilang itu nyewa, Mas."
Kedua bibir Haikal langsung tertutup seketika. Ia bingung harus menjelaskan dari mana dan bagaimana dulu.
"Sudahlah, Mas. Kita hidup sederhana aja. Aku terima kok, asal berkah."
Azkiya terkesima saat membuka salah satu kado, ternyata isinya tiga buah sarung dengan merk yang terkenal mahal.
Para santri pasti tahu merk apa sarung tersebut.
Sarung tiga huruf ini biasa dipakai Gus-gus muda dan para Kyai pesantren.
Harganya bisa sepuluh kali lipat dari harga sarung biasa yang dikenakan santri.
"Mas, sarung mahal ini kado dari siapa? Sudah pasti temennya sampean kan?"
Haikal justru terlihat biasa-biasa saja dengan kado tersebut. Toh nantinya juga akan jarang ia pakai ketika masih jadi abdi ndalem Abah Yai.
"Iya, temenku dari pondok lain. Simpan aja di lemari. Kayanya aku bakalan jarang make itu."
"Kenapa?" Azkiya bertanya penasaran.
"Yaa karena Abah dan para Gus sering pake sarung merk itu. Aku ndak mau dikira menyaingi mereka atau setara dengan mereka. Posisiku loh hanya abdi ndalem."
Azkiya langsung diam, tersadar betapa Haikal benar-benar punya niat mantap dan tulus mengabdi pada keluarga pesantren.
Sifat-sifat baiknya selama ini tertutup karena Haikal lebih terkenal sebagai playboy yang friendly ke semua santri.
Wajar jika dulu Azkiya banyak negatif thinking pada laki-laki itu.
"Dari sekian banyaknya kado, kenapa gak ada yang isinya jamu kuat ya?"
Nah kan! Mulai.
Azkiya berpura-pura tidak mendengar ucapan Haikal tersebut. Ia menyibukkan diri untuk membereskan sampah-sampah kertas kado ke dalam kresek.
"Cintaku ... kamu gak gerah pake kerudung terus meski di rumah? Bukalah! Aku pengen liat wajah cantik bidadariku dengan rambut panjangnya."
"Rambutku gak panjang," sahut Azkiya cepat.
Ia beralih membereskan kado-kado berisi pakaian ke dalam lemari.
"Eh iya, maksudku bidadari berambut pendek yang cantik sekali. Ayolah buka!"
Azkiya tidak menyangka kalau Haikal sengebet ini ingin meng-unboxing dirinya.
Suami alaynya itu terlihat sangat percaya diri dan siap lahir batin.
Sedangkan Azkiya ketar-ketir sendiri. Bingung harus pakai cara apalagi untuk menghindar.
"Mas, dari pada isi kepala kamu terus mikir yang nggak-nggak, coba wudhu terus ngaji. Aku pengen ngetes kamu baca Qur'an bagus apa nggak. Jangan-jangan imamku gak bisa baca Qur'an sesuai ilmu tajwid?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Mbak Santri
Ficção Adolescente( BISMILLAH PROSES TERBIT ) "Jodoh santri ya santri lagi." Di dunia pesantren, adat perjodohan sudah menjadi hal biasa yang sering terjadi. Azka Azkiya merasakan hal itu di tahun kedelapan dirinya nyantri di pondok pesantren Al-Furqon. Abah Yai menj...