Boyongan

7.3K 357 5
                                    

Setelah dua minggu lebih berada di tanah suci, Azkiya dan Haikal kembali pulang ke rumah.

Tak menunggu hari esok, keduanya langsung sowan pada Abah dan Ibu nyai. Tentu ada tujuan penting juga.

Setelah ngobrol banyak tentang pengalaman umroh dan memberikan oleh-oleh, Azkiya melirik Haikal, meminta dukungan untuk bicara sekarang.

Dan laki-laki itu mengangguk, mempersilahkan.

"Ngapunten sanget Abah ... ibu. Azkiya sekalian izin untuk boyong dan berhenti rewang-rewang di dapur. Mugi Abah dan Ibu ridho dengan keputusan ini."

Hening.

Di ruangan itu hanya ada mereka berempat. Azkiya duduk dengan terus menundukkan pandangan.

Jantungnya berdegup tak karuan menunggu jawaban Abah dan Ibu nyai yang begitu ia hormati. Ia takut beliau semua tidak ridho dengan keputusan ini.

Tapi kemudian....

"Abah dan Ibu ridho, Nduk. Terimakasih ya, selama ini mau bantu-bantu di dapur tanpa digaji, ikhlas lillahi ta'ala. Kamu ini banyak sekali jasanya. Ibu dan Abah minta maaf kalau selama kamu ngabdi di sini, kami banyak salah."

Tangis Azkiya tak terbendung. Segera ia mendekat dan mencium dalam tangan ibu nyai. Beliau pun balas memeluk Azkiya dan ikut menangis.

Rasanya itu sedih campur lega.

Abah dan Ibu nyai sudah seperti orang tua kedua bagi Azkiya. Tak pernah Azkiya merasa sakit hati karena beliau.

Susah senang ia lewati selama mondok di pesantren Al-Furqon. Kebiasaan baik bangun pukul setengah tiga pagi hanya Azkiya rasakan ketika jadi abdi ndalem bagian dapur.

Pengabdiannya selama ini ia lakukan dengan hati ikhlas tanpa pamrih sedikitpun.

Mendengar Abah dan ibu nyai ridho dengan keputusannya, Azkiya merasa tenang untuk keluar dan berhenti jadi abdi ndalem.

Kini, ia benar-benar boyong dan resmi jadi bagian dari alumni.

***

"Mbaakkkk..."

Riuh sekali kondisi kamar abdi ndalem saat ini.

Semua berebut ingin memeluk Azkiya untuk yang terakhir kali. Apalagi anak-anak bagian dapur yang paling sering bersama Azkiya.

"Jangan nangis lah. Kan rumah Mbak deket. Kita masih bisa ketemu dan kalian boleh main-main ke rumah."

Tapi Azkiya juga ikutan menangis, tak tega melihat semuanya merasa keberatan Azkiya boyong.

Apalagi Marlian dan Asri, dua teman dekatnya itu menangis histeris sudah seperti kehilangan anggota keluarga saja.

"Mbak, kami bersaksi kalau Mbak adalah orang baik. Jadi tolong ... jangan trauma datang ke dapur pondok kita."

Semakin menjadi tangisan Azkiya mendengar Marlina berkata demikian. Tentu kata-kata itu ada kaitannya dengan masalah ning Mila melabraknya di dapur.

Ia sempat takut teman-temannya di pesantren akan berubah sikapnya setelah masalah itu terjadi.

Tapi sebagian tidak seperti itu. Contohnya teman-teman sesama abdi ndalem. Mereka kenal dekat dengan sosok Azkiya yang selama ini tidak neko-neko membuat masalah.

Azkiya sungguh sangat bersyukur dengan hal itu.

Drama nangis-nangisan selesai. Sebagian dari anggota kamar dengan mata sembab ikut mengantar Azkiya sampai depan asrama putri.

Di depan sana, sudah ada Haikal yang menunggu dan kini menatap khawatir wajah istrinya yang sembab habis menangis.

"Kang, tolong jaga mbak Azkiya. Dan jangan larang kami kalau setiap hari main ke rumah," ujar Asri masih menahan tangis.

Jodoh Mbak SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang