Kehidupan Yang Baru

6.1K 377 43
                                    

Azkiya memang tinggal dan besar di desa. Tapi berbeda sekali dengan desa yang saat ini Azkiya tempati.

Ia menggigil kedinginan saat pagi menyapanya. Udara begitu sejuk,  kabut masih ada walau sekarang sudah menunjukkan pukul 06.30.

"Pagi ini ngaji kitab apa, Mbak?" tanya Azkiya pada salah satu santri.

Jam segini, di pesantren Al-Furqon sudah pembagian sarapan untuk para santri yang siap berangkat sekolah.

Tapi di pesantren Al-Ikhsan ini, para santri baru sarapan ketika jam 08.00 nanti. Setelah selesai ngaji kitab kuning.

Wajar saja karena di pesantren ini tidak ada yang sekolah. Para santri ful hanya mengaji kitab dan Quran selama 24 jam.

"Kitab Hikam, Teh."

Oke, Azkiya harus membiasakan diri untuk mengganti panggilan Mbak dengan kata 'Teteh'.

Tempat ngajinya berada di luar ruangan. Sebuah bangunan pondok yang terbuka, yang muat hanya untuk 11 orang. Satu ustadz, empat santri putra duduk di depan dan enam santri putri duduk di belakang.

Haikal sempat mencuri lirik dan tersenyum ke arah Azkiya.

Ngafsahi kitab kuning di sini masih menggunakan bahasa Jawa, yang disyukuri oleh Azkiya karena dirinya belum bisa bahasa Sunda.

Ngaji kitab kuning baru selesai pukul 08.10.

Waktunya para santri untuk masak sendiri. Karena di pondok ini tidak disediakan makanan oleh pengasuh maupun santri yang ditugaskan masak.

"Kita mau masak apa, Teh?" tanya Azkiya pada teh Aas, santri putri yang masih menetap di pesantren walau tahun ini umurnya 24.

"Nasi liwet. Makanan favorit santri sini, karena masaknya gampang, gak butuh lauk pendamping."

Azkiya pernah mendengar nasi liwet,  tapi tidak tahu cara memasaknya.

Jika di pesantren Al-Furqon Azkiya menjadi ketua dapur, di sini ia hanya jadi penonton bagaimana teteh-teteh santri masak di pawon menggunakan kayu bakar. Tidak ada kompor gas untuk santri, hanya ada di rumah Ibu nyai.

Rata-rata yang mondok di Al-Ikhsan berumur 17 lebih. Bahkan katanya ada kang santri yang masih mondok di umurnya yang sudah 30 tahun.

Benar-benar isinya orang-orang yang serius ngaji, yang tak tergiur dengar dunia luar.

"Teh Azkiya pernah mondok juga sebelum ke sini?" tanya Una, santri asal Depok.

"Alhamdulillah pernah."

"Berapa tahun Teh?"

Saat Azkiya menyebutkan angka tahunnya, tiga santri langsung bereaksi memuji.

"Masya Allah, sudah lancar ini mah baca kitabnya."

"Pasti hafal Alfiyah ya Teh?"

"Atau teteh seorang penghafal Alquran?"

Sungguh ekspektasi mereka terlalu tinggi pada Azkiya yang mondok lama tapi seringnya berada di dapur, bukan di kelas diniyah.

Karena Azkiya jarang ikut ngaji, ia pun tak pernah mengikuti wisuda kitab kuning apapun. Apalagi wisuda Alfiyah atau 30 juz bil ghoib.

Azkiya tak pernah merasakannya sampai ia boyong kemarin.

"Ah enggak kok. Aku hanya santri biasa, tukang masak."

Para santri sarapan nasi liwet yang dituangkan di atas daun pisang. Santri putri yang hanya berjumlah dua puluh lima itu mayoran nasi liwet di atas daun pisang yang berjejer.

Jodoh Mbak SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang