Naya menuruni tangga setelah seorang asisten rumah tangga memberitahu bahwa ada kiriman paket. Dilihatnya sebuah parcel besar berpita merah sudah ada di meja makan. Ia membuka kartu ucapan yang terselip untuk mencari tahu siapa pengirimnya.Ternyata hampers lebaran dari Ruby dan Oska. Isinya beberapa toples kue kering yang dikelilingi satu set piring dan gelas keramik. Ada juga sajadah dan tasbih.
“Apa lagi itu, Mbak?” tanya Naya begitu melihat dua asisten rumah tangga yang lain membawa satu kardus besar, box kontainer dan sebuah keranjang rotan.
“Masih sama dari yang ngirim hampers, Bu.”
Naya membuka satu persatu, lalu kemudian membuang napas cepat. “Ruby kebiasaan, kalau ngirim barang banyak banget.”
Kardus itu berisi banyak sekali cemilan yang ia tahu Ruby beli dari luar negeri via jastip online. Cemilan sehat kesukaan anak-anak.
Untuk container putih berisi beberapa bungkus daging ayam kampung mentah yang sudah dibagi sesuai bagiannya, macam-macam jenis daging sapi, lemak dan aneka frozen.
Naya tahu semua itu kualitas premium.
Ruby pertama kali mengirim bahan makanan seperti ini ketika mendengar Wibi sakit beberapa tahun lalu. Katanya kaldu dari ceker ayam bagus untuk masa pemulihan. Dia juga memberikan beberapa resep. Dan keterusan sampai sekarang—rutin mengirim sesuatu.
Naya sampai bingung adik iparnya itu seorang cheft atau pengusaha supermarket.
Dan untuk keranjang rotan, ada makanan siap santap yang berasal dari restoran milik Ruby cabang Jakarta.
“Huh! Capek banget.”
Naya menemukan anak bungsunya yang baru pulang sekolah melempar tas ke sofa begitu saja.
“Adek, Assalamuaikum.”
“Waalaikumsalam, Mom.”
Ck. Bukannya meralat kesalahannya, malah menjawab.
Aghnia berjalan gontai, mencium tangan Naya lalu memeluk bahu ibunya dari belakang. “Mommy, aku puasanya setengah hari ya.”
“Heh? Kamu sakit?” Naya menyentuh keningnya. “Nggak panas kok.”
“Tapi lemes banget, Ibunda Ratu. Lemah letih lunglai, tak berdaya abis beresin kelas sebelum libur panjang. Tenggorokan aus.”
“Itu godaan setan, Dek. Istighfar. Kuat-kuatin. Tiga jam lagi buka lho.” Naya mengeluarkan box-box makanan itu dari keranjang.
“Wangi apa ini?” Hidung Aghnia bergerak mengendus sesuatu. Seketika matanya melebar. “Astagfirullah…. Mommy tega banget jam segini udah hidangin makanan restoran. Enggak lihat apa anaknya lagi kelaparan kayak zombie haus darah gini?”
“Yang haus darah itu vampire, bukan zombie.”
“Whatever. Trus ini apa?” Gadis itu mengobrak-abrik isi kardus. “Astaga, ini ada cemilan favorit aku. Huwaaaa. Kenapa imanku yang sudah setipis tisu dibagi tujuh ini diuji dengan godaan makanan-makanan enak, Yaa Allah?”
“Semua ini dari Aunty Byby.” Lalu menyuruh asisten rumah tangga membawa daging-dagingan ke freezer penyimpanan.
“Ooohh jadi setannya Aunt—aduh, Mommy. Kok aku ditabok?!” Gadis itu mengusap tangannya yang ditepuk Naya.
“Mommy bilangin Aunty nih biar kamu nggak dapat THR.” Anak perempuan satu-satunya itu sangat ceplas ceplos.
“Ih jangan dong, THR dari Aunty Byby itu yang paling aku tunggu. Soalnya paling gede dari yang lain. Dalam bentuk dollar lagi.” Aghnia mengedarkan pandangan. “Kok sepi, Mom? Abang kembar belum bangun?”
KAMU SEDANG MEMBACA
NATTALOVA
Lãng mạnBersenang-senang menikmati masa muda adalah prinsip dari seorang Kanaya Lovandra saat ini Memikirkan masa depan sepertinya belum masuk agenda pribadinya Bagi gadis 22 tahun itu kuliah menjadi nomor kesekian Waktunya lebih banyak untuk main-main, pac...