EDISI KANGEN - Abhisena Ngamuk

2.8K 157 33
                                    

Tok... tok... tok...

Kenyamanan dua anak manusia yang masih terpejam, saling berpelukan dibawah selimut—tanpa sehelai benang pun—sedikit terusik.

Naya mengerjap mendengar suara gaduh di luar kamar semakin nyata. "Bangun, Mas. Kayaknya udah pagi deh." Tangannya bergerak ingin melepas pelukan, tapi tangan kekar itu semakin memeluk perutnya.

"Maasss..."

"Keringat kita aja belum kering, Sayang, berarti pagi masih lama." Dengan mata terpejam, kaki Natta membelit kaki mulus dibawahnya, seperti ular Piton yang tidak mengijinkan mangsanya lepas perangkap.

"Lama dari Hongkong. Kamu amnesia, ya? Tadi kamu ngajak 'tempur' udah hampir jam 3 subuh. Dua ronde durasinya sama kayak tayangan sinetron dua episode tau. Ayo bangun."

Natta terkekeh. Bukannya menurut, pria itu malah menciumi pipi dan rahang Naya, lalu menenggelamkan wajahnya di leher wangi percampuran aroma parfum dan keringat itu.

"Kamu bisa telat subuh, Mas." Naya belum menyerah membangunkan suaminya.

"Pagi ini aku mau jamaah aja di rumah sama kamu. Capek kalau mesti jalan ke masjid."

"Mentang-mentang ayah udah nggak disini kamu jangan seenaknya dong."

Sudah setahun ini Agam pindah ke Puncak, tepatnya sejak Dina sering sakit-sakitan. Natta sendiri yang memberi usulan. Udara segar dan suasana tenang bagus untuk kesehatan wanita tua itu. Tidak masalah jika ia harus mengurus perusahaan seorang diri ditengah keribetannya menjadi orang tua baru bersama Naya, tidak masalah jika sebulan sekali mereka harus ke Puncak untuk menengok keluarganya. Asal demi kebaikan mereka, Natta ikhlas menjalani.

Agam yang diam-diam sering bolak-balik Jakarta-Puncak juga menjadi alasan. Natta tahu ayahnya itu sudah sangat ingin tinggal disana agar bisa mengunjungi makam Flora sesering mungkin. Natta tidak mau egois dengan terus menahannya disini. Cepat atau lambat semua akan terjadi. Akan lebih baik jika ia secepatnya meringankan beban sang ayah, bukan?

Kalau terus dibayang-bayangi Agam, kapan Natta akan dewasa? Kapan ia bisa mengemban tanggung jawab yang memang ditakdirkan untuknya? Ia sudah menjadi kepala keluarga, pemimpin perusahaan besar, tidak semestinya Natta terus merepotkan ayahnya. Walaupun sebenarnya dunia pun tahu, Agam sama sekali tidak merasa direpotkan, terutama untuk urusan anak semata wayangnya.

Dan sebagai anak yang baik, tidak sombong dan gemar menabung, Natta sudah melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sejak dulu, dengan memberikan hari tua yang diinginkan ayahnya—tinggal di tempat yang diimpikan Agam sejak dulu—villa di Puncak.

"Makin hari kamu makin cerewet sih kayak emak-emak." Natta meraup bibir Naya.

"Emang udah jadi emak-emak."

"Udah ah, tidur lagi barang sebentar. Kasihanilah suamimu yang baru saja bekerja keras bagai kuda demi memberi nafkah batinmu ini, Paduka."

Naya mendengus dalam pelukan Natta. Keseringan bergaul dengan Niol membuat suaminya itu berubah menjadi menyebalkan. Tangannya kembali menggeliat. Jangankan bangun, sekedar menjulurkan tangan untuk melihat jam di ponsel saja Naya tidak bisa. Oh salahkan lampu temaram yang membuatnya tidak bisa melihat jam dinding. Masih untung dirinya bisa bernapas.

Brug... brug... brug...

Belum juga menutup mata, suara baru sudah terdengar (lagi).

"Mas, itu—"

Natta mengeratkan pelukan. "Paling suara mbak-mbak yang mulai aktivitas di dapur."

Brug... brug... brug...

NATTALOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang