Nattalova - 41

2.1K 169 61
                                    

Pagi menjelang siang ini cuaca sangat cerah, cahaya matahari yang sudah naik mampu menyilaukan mata yang dihiasi kantung menghitam di bawahnya. Kalau bisa protes mungkin mata indah itu sudah meronta untuk minta diistirahatkan barang beberapa jam. Dia terasa lelah, sudah beberapa hari ini tugasnya terasa berat. Biasanya tuannya memberi jatah istirahat lebih dari 5-6 jam dalam sehari, tapi sekarang untuk terpejam 3 jam saja rasanya bagai mimpi.

Nattaya – si tuan mata yang malang terus melihat keluar mobil taksi. Pemandangan Gedung Sate yang menjadi ikon kota menarik kedua ujung bibir, dia benar-benar sampai di kota tujuan setelah semalaman terjebak di bandara Ngurah Rai dan akhirnya bisa terbang pukul 5.30 pagi tadi.

Sejujurnya tubuhnya terasa lelah, tidur dengan posisi duduk di lantai bersandarkan tembok jelas bukan rekomendasi tidur yang nyaman, hanya membuat sekujur tubuhnya sakit. Belum lagi semalam kondisinya hujan, huh dinginnya benar-benar menusuk tulang. Tapi bayangan sebentar lagi akan bertemu Naya seolah menguapkan semua lelah yang dia rasakan.

Dengan membayangkan Naya saja Natta bisa kembali bersemangat, rasanya dia tak sabar untuk sampai di rumah pak Surya. Apapun reaksi gadisnya nanti Natta tidak peduli, rasa rindunya sudah benar-benar menggunung. Setidaknya dia bisa melihat Naya dulu, bosan rasanya hanya melihat foto dan video. Natta ingin melihat Naya secara langsung, mendengar suaranya, melihat semua keunikan pada dirinya. Setelah itu baru memperbaiki semuanya.

"Terimakasih, Pak." Natta membayar ongkos taksi lalu turun.

Gerbang tinggi menjulang langsung menyambut. Dilihat dari kokohnya pagar, sepertinya rumah ini jauh lebih besar dari rumahnya ataupun rumah Naya yang di Bali.

Dan benar, saat gerbang terbuka, terlihat bangunan besar dengan dominasi warna putih dan emas. Bangunan itu lebih layak disebut mansion bergaya Eropa dari pada rumah.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" seorang pria berpakaian safari layaknya ketua keamanan mendekati Natta.

"Iya, pak. Apa benar ini rumah keluarga Surya Emeraldi?"

"Benar. Anda siapa?" Tegas pria berkulit cokelat itu, lalu memandangi Natta penuh curiga dari atas sampai bawah.

Natta tersenyum tipis, menyadari saat ini penampilan kacaunya memang tidak layak untuk bertamu di keluarga terpandang seperti ini dan patut dicurigai. Tanpa diminta, dia langsung mengeluarkan KTP memberikannya pada penjaga rumah pak Surya.

"Saya Nattaya..."

"Kau pikir aku tidak bisa membaca?" Sergahnya menunjuk KTP Natta, memaksa pemiliknya menelan saliva dalam.
"Apa tujuan anda kemari?"

"Saya teman Kanaya – cucunya pak Surya. Saya juga kenal sama kakak dan adiknya – El sama Oska. Saya juga tau nama orang tuanya – Lintang dan Langit. Dan kebetulan perusahaan ayah saya - Adhy Grup bekerja sama dengan perusahaan pak Surya yang di Jakarta. Beberapa hari Naya tidak bisa dihubungi, kemarin saya ke Bali, kata tetangganya keluarga sedang disini. Kalau boleh tau, apa Naya juga ikut kesini?" Terpaksa Natta menjelaskan semuanya agar penjaga itu tidak menatapnya seperti itu lagi.

Pria itu perlahan menurunkan tatapan tegasnya, lalu mengembalikan KTP Natta.
"Kemarin semua keluarga besar Emeraldi memang berkumpul disini karena ada pesta kecil-kecilan."

Senyum Natta mengembang, bayangan pertemuannya dengan Naya sudah didepan mata.
"Apa saya bisa bertemu Naya sekarang?"

"Kamu terlambat, kasep."

"Terlambat?" ulang Natta dengan kening mengerut. Tak memperdulikan pujian dalam bahasa Sunda yang diucapkan pria itu.

"Orang tua non Naya ada urusan di Jakarta, jadi dia harus menemani adiknya pulang ke Bali. Tadi pagi-pagi sekali mereka berangkat. Dan sekarang rumah ini sepi, semua sudah kembali melakukan aktivitas masing-masing."

NATTALOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang