Alat penyangga yang terpasang dileher membuat ruang gerak Natta terbatas. Ia hanya melirik saat Langit menutup pintu rapat, lalu berjalan mendekat.
"Gimana rasanya diinfus?"
"Aawwhh." Natta langsung meringis saat Langit dengan jahilnya menjentikkan jari ke jarum infus ditangan kirinya.
Langit terkekeh, melihat Natta menarik tangan, lalu mengusapnya.
"Pasti seru ya selama beberapa hari kedepan kamu bakal ditemenin sama sesuatu yang kamu takuti. Atau mau kamu minum aja cairan infusnya biar tangan kamu nggak perlu ditusukin jarum?"
Pandangan Natta hanya mengikuti langkah Langit yang menarik kursi agar lebih mendekati ranjang. Sikap ayahnya Naya ini sekarang tidak semenegangkan sebelumnya, bahkan dia sudah bisa jahil seperti saat dia memperlakukan anak-anaknya. Semoga saja ini pertanda baik. Aamiin.
"Coba dari awal kamu bilang kalau lagi sakit, Nat... pasti semua ini nggak akan terjadi."
"Saya cuma mau Om percaya kalau Naya itu prioritas saya... dalam keadaan apapun."
"Tapi sikap nggak jujur kamu bikin Naya marah besar sama saya. Dia mengira saya melukai kamu." Natta terbelalak.
"Saya minta maaf, Om. Nanti akan saya jelaskan semuanya sama dia." Langit tersenyum, menurunkan tangannya yang terlipat.
"Nggak perlu. Ibunya udah bikin dia jadi gadis manis lagi sebelum saya masuk kesini." Natta hanya menghela nafas lega.
"Justru saya membaca hal lain dibalik kemarahannya. Saya melihat Naya benar-benar mencintai kamu." Langit menjeda kata-katanya sesaat.
"Kami memang sering bercanda sampai berdebat tentang masalah yang penting atau nggak penting, tapi baru kali ini anak saya memarahi saya hanya demi membela seorang pria. Menurut kamu gimana? ada seorang gadis yang rela berdebat dengan orang tuanya hanya karena pria yang dia cintai. Apa tindakannya itu benar?"
Natta terdiam sesaat, memandangi Langit yang kembali melipat kedua tangannya di dada.
"Sebagai pria itu, tentu saya senang dapat pembelaan dari gadis yang saya cintai, karena itu artinya saya nggak berjuang sendiri. Tapi disisi lain saya kurang setuju dengan tindakan Naya. Bagaimana pun juga om Langit itu ayahnya, yang harus dia hormati dalam keadaan apapun."Langit terus memperhatikan Natta yang memandangi langit-langit ruangan, tanpa ingin menyela kalimatnya.
"Dulu saya seperti Naya, sering banget berdebat sama ayah, terutama kalau udah menyangkut bunda. Waktu kecil saya pernah menyerang fisik ayah hanya karena salah paham. Bahkan saya pernah berbulan-bulan mendiamkan dia waktu bunda pergi. Tapi setelah itu saya sadar betapa berartinya orang tua bagi kehidupan saya. Sekarang cuma ayah yang saya punya, sebisa mungkin saya akan melakukan yang terbaik buat dia. Sampai saat ini kami memang masih sering beda pendapat, tapi untuk masalah serius saya selalu berusaha membicarakannya baik-baik. Saya tidak mau orang tua saya sakit hati karena saya." Natta sedikit menoleh kearah Langit.
"Saya juga mau Naya seperti itu, Om. Secinta-cintanya dia sama saya, Naya nggak boleh melawan orang tuanya demi saya. Gimana pun juga kan saya orang baru dikehidupan Naya, sedangkan kalian sudah menemani dia dari awal Allah menciptakan Naya dirahim tante Lintang, sampai detik ini."
"Kalau akhirnya saya tidak merestui kalian, apa yang akan kamu lakukan? Menyerah? Atau melupakan prinsip kamu dan akhirnya membiarkan Naya melawan orang tuanya?" Natta tertegun sesaat, pikiran mulai tak tenang dengan kemungkinan terburuk.
"Saya bukan tipe orang yang prinsipnya mudah goyah. Saya tidak akan menyerah, apalagi merubah prinsip. Saya tetap akan terus memperjuangkan cinta saya. Saya akan terus meyakinkan Om kalau saya pantas untuk Naya. Kalau perlu Om bisa kasih saya rentetan ujian lagi sampai Om percaya saya bisa menjaga Naya."
KAMU SEDANG MEMBACA
NATTALOVA
RomanceBersenang-senang menikmati masa muda adalah prinsip dari seorang Kanaya Lovandra saat ini Memikirkan masa depan sepertinya belum masuk agenda pribadinya Bagi gadis 22 tahun itu kuliah menjadi nomor kesekian Waktunya lebih banyak untuk main-main, pac...