"Jadi bundanya Natta itu dulunya designer, oma? Trus butiknya masih jalan sampe sekarang?" tanya Naya sambil membuka-buka buku gambar milik Flora yang masih rapi.
Dina yang datang membawa minuman dan cemilan duduk di sebelah Naya. Tadi setelah Natta berangkat jumatan Dina mengajak Naya ke gazebo di pinggir kolam renang. Dina akan memeriksa laporan bulanan butik disana sambil mengobrol dengan Naya.
"Flora itu nggak pelit ilmu. Dia memang pemilik butik tapi bukan berarti semua baju dia yang merancang. Setiap karyawan boleh memberikan ide rancangan, kalau ada yang kurang pas baru Flora yang memberi arahan agar lebih baik. Makanya sampai sekarang butik itu masih berjalan karena mempunyai beberapa designer muda berbakat." Jelas Dina seraya mengambil map laporan.
"Dan sejak Flora meninggal, Agam meminta oma mengawasi butik." Sambungnya dengan senyum tipis."Berarti oma sering ke butik?" Dina menggeleng.
"Cuma seminggu sekali, disana sudah ada Ina – mantan asisten Flora yang sekarang dipercaya mengurus butik." Naya manggut-manggut mengerti. Kemudian meminum orange juice setelah Dina mengajaknya.
"Kanaya sendiri kuliah ambil jurusan apa?" tanya Dina yang sekarang fokus dengan laptop.
"Yang standar aja oma, ekonomi. Dulu pengen ambil arsitek tapi sama papa nggak boleh. Padahal Naya dikit-dikit ngerti loh desain gedung atau tata ruang gitu, soalnya dulu Naya sering nemenin papa kerja."
"Kenapa nggak boleh? Sekarang banyak loh arsitek cewek." Dina sudah mengangkat kepala menatap Naya.
"Katanya jadi arsitek itu berat, papa nggak tega putrinya panas-panasan pas survey lapangan. Papa juga bilang cewek itu lebih baik membangun keluarga yang sakinah mawadah warahmah dari pada bangun hotel, rumah dan sebagainya." Seketika Dina tertawa, begitu pun Naya.
Obrolan mereka masih berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan ringan Dina tentang Naya, begitu juga Naya yang menanyakan tentang Natta dan keluarganya. Tak jarang celetukan-celetukan ajaib keluar dari mulut Naya, bahkan sesekali Dina sampai mengusap sudut matanya karena tertawa.
Sementara itu Natta menghentikan langkah di depan pintu, tersenyum melihat keakraban Dina dan Naya yang semakin intens dari sebelumnya. Naya yang sedang bercerita sesekali tertawa, sementara Dina menjadi pendengar yang baik dengan senyum lembutnya.
Telintas dibayangan Natta kalau yang sedang bersama Naya itu Flora, pasti akan lebih indah. Natta menggeleng pelan, tak mau membayangkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
"Assalamualaikum." Dina dan Naya kompak menoleh seraya membalas salam. Mereka melihat Natta datang berjalan mengitari kolam renang mendekati gazebo.
"Ayah kamu mana Sayang?" Tanya Dina saat Natta mencium punggung tangannya.
"Masih di belakang."
Natta menoleh kearah Naya, kembali memberikan tangan sama seperti tadi waktu berangkat. Naya tampak ragu, memandangi Natta, tangannya dan Dina bergantian.
Dina yang melihat kecanggungan Naya hanya tersenyum tipis kemudian menunduk, sibuk dengan laptop.
Akhirnya Naya meraih tangan Natta, mencium punggung tangan itu untuk kedua kalinya.
"Jadi pergi?" tanya Natta, duduk di sebelah Naya.
"Jadi dong."
"Tapi mendung." Natta menatap kearah langit yang memamerkan awan hitamnya.
"Mendung kan bukan berarti hujan." Pungkas Naya.
"Ya udah kamu ganti baju sana, aku mau sholat dulu sama oma." Tadi Dina memang sudah bilang akan mengajak Naya sholat bersama setelah Natta pulang jumatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATTALOVA
RomanceBersenang-senang menikmati masa muda adalah prinsip dari seorang Kanaya Lovandra saat ini Memikirkan masa depan sepertinya belum masuk agenda pribadinya Bagi gadis 22 tahun itu kuliah menjadi nomor kesekian Waktunya lebih banyak untuk main-main, pac...