TWINS PUNYA ADEK (TAMAT)

2.2K 171 65
                                    

"Banyak juga, ya"

Sate kelinci, nasi goreng kambing, mie tek-tek, ayam kremes, rica-rica bebek, kebab, es cendol dan rujak.

Natta baru sadar, ternyata makanan yang ia beli banyak sekali. Bagaimana tidak, mobilnya selalu berhenti setiap kali melihat penjual makanan di sepanjang jalan.

Mungkin efek tadi siang muntah-muntah tidak jelas di kantor, makanya sekarang kelaparan, pikirnya santai.

Pintu mobil yang malang itu harus mendapat sentuhan lutut Natta karena sang pemilik kesusahan menutupnya dengan banyaknya belanjaan di tangan.

"Daddyyyy~"

Natta harus mengangkat bawaannya karena si kembar berlari memeluk perutnya.

"Kok Daddy pulang malam?" tanya Seva dengan kepala mendongak.

"Daddy, Daddy, Daddy bawa apa?" Sena menunjuk banyaknya bungkusan di tangan sang ayah sambil melompat-lompat.

"Tadi macet. Daddy juga beli banyak makanan nih. Ke meja makan yuk, yuk, yuk."

Dua bocah itu berjingkrakan mengikuti langkah Natta, sambil mengoceh makanan apa saja yang dibawa ayahnya. Natta menyebutkan semuanya dan kedua anaknya bersemangat memilih. Mereka juga bercerita tentang kegiatan sorenya latihan sepeda di taman komplek. Sena sempat jatuh, tapi tidak menangis, katanya malu karena banyak cewek-cewek disana. Giliran Seva yang mengatakan bahwa mereka cuma bermain sebentar karena Mommy mengeluh pusing dan lemas.

Natta terkejut. "Mommy sakit? Sekarang Mommy mana?"

"Mommy bilang nggak pa-pa, sekarang lagi di atas," jawab Seva sambil menyomot kremesan ayam.

"Daddy, bunting itu apa sih?"

"Hah?" Natta menoleh kaget pada Sena yang tidak sabaran membuka sate kelinci. "Kamu dapat kata itu dari mana?"

"Tadi Sena dengar Uncle Oka ngomong gitu waktu video call sama Mommy. Emang artinya apa, Daddy?"

Natta termenung sesaat kemudian menggeleng. "Kamu salah dengar kali. Mungkin Uncle bilang kata penting, bukan bunting."

"Iihh beneran Daddy, tadi Uncle bilangnya gini," Sena membusungkan dada menirukan gaya Uncle-nya. "'Hah! Kak Naya lemah letih lesu, mual-mual juga nggak? Jangan-jangan kakak bunting'. Gitu. Seva juga dengar. Iya, kan, Va?"

Seva menggeleng.

"Masa nggak dengar? Mommy kan video call di kamar kita."

"Tadi kan aku nonton Smart Hafiz kayak yang Mommy suruh setelah salat. Berarti kamu nggak nonton ya, kamu malah diam-diam dengerin Mommy ngobrol sama Uncle? Nggak boleh, Sena."

"Seva, aku nggak diam-diam dengerin. Aku—"

"Udah, udah," Natta melerai, bertepatan dengan Mbak Marni masuk dapur, yang langsung mendekati meja makan setelah Natta memanggil. "Mbak, tolong siapin ini ya. Saya mau ke atas."

"Wah, banyak banget makanannya, Tuan. Pesenan Nyonya ya?"

"Bukan, saya sendiri yang kepengen."

Wajah asisten rumah tangga itu semakin sumringah. "Benar-benar unik. Dari jaman mas kembar sampai yang sekarang, yang ngidam selalu Tuan."

"Hmm?" Natta melihat perubahan ekspresi wanita itu. "Maksudnya apa, Mbak?"

"Ngg—bukan apa-apa, Tuan. Maaf." Dia tepuk mulutnya sendiri, sambil bergumam. Dasar mulut, kenapa ember banget, pasti Nyonya mau bikin kejutan makanya Tuan bingung.

Dan Natta mendengar gumaman itu.

Ia terdiam dengan rahang mengeras. Kilasan kejadian akhir-akhir ini yang menurutnya hanya kebetulan, kini silih berganti memenuhi pikiran. Dirinya yang mendadak suka rujak padahal dulu boro-boro, Alex yang menggodanya dengan mengatakan mirip orang hamil karena muntah-muntah padahal badan tidak panas.

NATTALOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang