01

9K 283 0
                                    

"Vel, lo dimana? " Tanya seorang gadis kepada lawan bicaranya di seberang telepon.

"Sorry Vy, gue kayaknya gabisa kesana deh" jawaban itu sontak membuat gadis itu mengerutkan kening marah. Tanpa babibu gadis itu langsung memutus panggilan sepihak tanpa mendengar penjelasan lawan bicaranya mengapa tidak bisa datang.

Bukan tanpa alasan ia marah kepada temannya itu. Hari ini adalah hari minggu, dimana seharusnya ia bisa beristirahat tanpa melakukan apapun, namun satu-satunya teman yang ia miliki itu memintanya menemani ke mall untuk membeli kado ulang tahun pacarnya. Setelah dirinya sampai di tempat mereka janjian, temannya itu malah membatalkan sepihak yang mana hal itu membuat gadis itu amat kesal.

Gadis itu Vianni atau biasa dipanggil Vivy. Mahasiswi tahun ke-3 jurusan manajemen bisnis yang mempunyai paras cantik dan tinggi diatas rata-rata gadis seusianya. Di umurnya yang sudah memasuki 21 tahun ini, Vivy belum pernah sekalipun merasakan yang namanya pacaran ataupun hubungan sejenis itu. Sebenarnya dia ingin mempunyai seseorang yang dapat menemaninya dalam artian sebagai kekasih atau sejenisnya, namun ia belum menemukan lelaki yang benar-benar cocok dan sesuai dengan kriterianya.

Karena Vivy tidak terlalu menyukai keramaian, gadis itu memutuskan untuk berbalik arah dan meninggalkan mall itu, toh dia juga belum ada niatan untuk belanja kebutuhannya sehari-hari, jadi ia ingin segera pulang saja.

Namun, belum sempat melangkahkan kakinya, dirinya ditabrak oleh seorang laki-laki yang tingginya hanya sebatas dagunya, mungkin lebih pantas disebut bocah kali ya.

Pria kecil itu mendongak lalu sesaat kemudian tertegun saat tatapannya bertemu dengan tatapan tajam Vivy. Pria itu tersadar dari lamunan singkatnya setelah Vivy menepuk-nepuk bahunya guna menarik atensi si bocah didepannya.

Bocah itu mengedip-ngedipkan matanya cepat membuat tatapan Vivy yang tadinya tajam kini sedikit melembut.

"Kakak cantik, maaf, bian ga sengaja" Bocah itu berucap gugup karena tatapan Vivy tak lepas darinya.

Mendengar itu membuat Vivy merasakan desiran aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kenapa terburu-buru?? disini sangat ramai, kamu bisa jatuh" Vivy berucap lembut lalu tersenyum kecil sambil mengelus rambut bocah itu dengan tangan kanannya. Ini benar-benar bukan Vivy, gadis itu tidak pernah bersikap lembut bahkan kepada Vella (sahabat Vivy yg membatalkan janji) sekalipun, namun entah mengapa ia merasa 'harus' bersikap seperti itu saat ini.

"Maaf kak, tadi Bian kesini sama Bunda, terus pas Bian liat boneka disana bunda udah ga ada di samping Bian, jadi Bian buru-buru nyari bunda karna ga tau jalan" Jelas bocah yang menyebut dirinya Bian itu.

"Jadi kamu mau cari bunda kamu?? mau kakak temenin?? " Vivy menawarkan diri.

"Kakak cantik mau nemenin Bian?? beneran?! " Tanya Bian dengan mata berbinar menatap Vivy.

Vivy tersenyum dan menganggukkan kepalanya, dirinya lebih seperti berbicara dengan anak kecil dibanding remaja seusia Bian.

"Ayo" Bian menarik tangan Vivy dan mengayunkannya seperti anak kecil, dan anehnya Vivy sama sekali tak menolak apa yang Bian lakukan.

Setelah  15 menit mencari, mereka tak kunjung menemukan Mama Bian, Bian sudah mengerucutkan bibirnya karena dirinya sudah mulai lelah.

"Kakak cantik, Bian capek" Vivy menoleh kearah Bian yang berada disampingnya.

"Mau istirahat dulu? " Tanya Vivy yang dijawab anggukan oleh Bian.

Vivy melihat sekeliling guna mencari tempat untuknya dan Bian istirahat. Matanya menemukan toko es krim yang tidak lumayan ramai dan memutuskan untuk pergi kesana.

"Bian mau es krim? "

"Mau!"

Akhirnya Vivy membawa Bian ke toko es krim tersebut dan memesan 2 mangkok es krim untuk dirinya dan Bian.

Begitu pesanan datang, Bian langsung memakan es krim stroberi nya dengan mata berbinar, persis seperti anak kecil.

Vivy menatap bocah kecil didepannya dengan sudut bibir terangkat, tangannya terulur ke wajah Bian untuk membersihkan sudut bibirnya yang belepotan dengan es krim.

Wajah kecil itu mendongak menatap Vivy karena terkejut dengan apa yang gadis itu lakukan.

"Bian suka es krim?? " Bian menganggukkan kepalanya semangat dibalas elusan dipuncak kepalanya.

"Pelan-pelan saja, jika kurang boleh pesan lagi"

"Beneran?? Tapi.... kata bunda ga boleh makan es krim banyak-banyak" Wajah Bian berbinar mendengar ucapan Vivy, namun redup kembali setelah mengingat larangan bundanya untuk memakan es krim dalam jumlah banyak.

Vivy yang melihat wajah murung Bian menjadi tak tega, tangannya mencubit pelan pipi Bian yang sedikit tembem.

"Makanya jangan bilang bunda, kalau sekali-kali gapapa kok" Vivy terkekeh pelan melihat Bian yang menatapnya dengan mata berbinar, bocah ini sungguh membuatnya seperti bukan dirinya. Dia rasa hanya dengan melihat binar di mata anak itu bisa membuatnya melakukan apa pun yang ia minta. Sungguh konyol, padahal ini adalah pertemuan pertama mereka.

"Berarti ini rahasia?? " Bian bertanya dengan berbisik, badannya condong ke depan agar suaranya hanya bisa didengar Vivy. Gadis itu menahan tawanya lalu ikut berbisik kepada Bian.

"Iya, ini rahasia" Bisiknya ditelinga Bian, takutnya ada orang lain yang mendengar 'rahasia' mereka. sungguh ia ingin tertawa melihat dirinya sendiri yang ikut bertingkah seperti anak kecil.

'Ya Tuhan, maksudnya tuh yang kayak gini... ' Jeritnya dalam hati sembari menatap bocah laki-laki didepannya yang sedang menghabiskan es krimnya yang tinggal sedikit.

Vivy pun memesan 1 mangkok lagi yang rasa stroberi untuk Bian.

Setelah menghabiskan es krim mereka, Vivy menuju kasir untuk membayar pesanannya lalu mengajak Bian untuk keluar dari toko.

"Mau lanjut cari bunda" Bian mendongak agar bisa menatap Vivy yang jauh lebih tinggi darinya.

Vivy hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu menarik tangan Bian agar mengikutinya.

Tak lama kemudian, Bian menarik tangan Vivy membuat gadis itu tak melanjutkan langkahnya.

"Kakak cantik, itu bundanya Bian" Bian menunjuk wanita paruh baya yang seperti sedang mencari seseorang bersama seorang petugas keamanan.

Vivy terkejut melihat wajah wanita itu yang sangat tidak asing dimatanya, tatapannya lalu beralih menatap Bian dengan tatapan penuh arti.

Saat dirinya hendak mengikuti Bian menemui bundanya, Tiba-tiba teleponnya berdering membuatnya tak jadi melangkahkan kakinya.

Ternyata telepon dari asisten pribadinya yang mengatakan bahwa ada masalah mendesak yang harus segera diselesaikan.

"Bian, aku tidak bisa ikut menemui bundamu, aku ada urusan mendesak, Bian bisa kesana sendiri?? " Bian pun menganggukkan kepala nya, ia tidak ingin merepotkan kakak cantiknya lagi.

"Makasih ya udah nemenin Bian, sampai ketemu lagi" Bian berjalan meninggalkan Vivy setelah melambaikan tangannya tanda perpisahan.

Vivy menatao kepergian Bian dengan tatapan yang sulit di artikan.

'He is Mine'

He is Mine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang