Bima pov
Aku menatap kedua sahabat baikku itu dengan wajah malas, ini hari pertama kami masuk sekolah tapi sudah terlambat karena ulah Tian yang tidak mengisi bensin semalam. Jadilah kami harus mendorong motor sampai ke pom bensin, karena kesal aku membiarkan mereka berdua saja melakukan nya.
Aku berjalan mendahului mereka, enggan menoleh karena memang kesal. Keringat sudah membasahi seragam sekolah ku, aku juga tidak bisa meninggalkan mereka meskipun aku bisa melakukan nya tetap saja tidak tega. Dalam kediaman ku, aku lebih banyak memerhatikan jalanan yang memang ramai karena sekarang hari Senin.
Aku tidak tahu dari mana muncul nya anak itu, namun karena terkejut aku pun melompat ke samping menghindari tubuh kami bertabrakan.
"Maaf kak, nggak sengaja."
Dia menunduk meminta maaf, aku malas menjawabnya jadi kubiarkan saja dia berlalu. Dia melangkah tergesa-gesa, kaki pendeknya terlihat lucu sekali saat berjalan. Aku pun tertawa tanpa sadar, Tian menegurku karena hal itu.
Karena penasaran aku pun mengikuti anak kecil itu, dan baru kusadari kalau seragam kami sama yang artinya dia satu sekolah dengan ku. Tapi bagaimana bisa badan nya sangat mungil, padahal aku saja sudah setinggi ini. Rambut nya yang dibiarkan terurai terbang kesana kemari, tas nya terlihat cukup berat dan aku sedikit khawatir kalau dia akan kelelahan.
Sekolah kami masih cukup jauh, dia berjalan kaki sendirian tanpa ditemani siapapun. Rasa penasaran yang tadi kurasakan kini berubah menjadi kasihan, dia memegang botol air minum yang terisi penuh.
Aku ingin sekali menawarkan diri untuk membawakan barang nya tapi takut kalau dia berpikiran tidak-tidak terhadapku, apalagi kami tidak saling mengenal. Aku pun tidak sadar kalau langkah ku sudah semakin jauh meninggalkan Engga dan Tian, aku hanya ingin mengikuti langkah gadis kecil itu sampai ke sekolah. Tidak peduli para sahabatku meneriakkan namaku begitu keras, aku hanya menatap punggung nya saja.
Sesampai nya di depan pagar sekolah, dia menunduk sebentar mengatur nafas. Sudah pasti dia kelelahan membawa barang sebanyak itu, seharusnya dia meminta tolong kepada saudaranya agar diantar ke sekolah. Aku belum bisa melihat wajahnya, tapi aku bisa mendengar deru nafasnya yang tersendat.
Dia membenarkan tas punggung nya lalu kembali menegakkan badan, aku tersenyum lagi melihatnya.Entah mengapa melihat gerakan kecil yang dia lakukan membuatku merasa lucu dan lagi-lagi tertawa, seolah aku sedang melihat anak kecil yang mencoba jadi orang dewasa.
Dia menoleh ke belakang karena suara tawaku yang keras, aku pun terdiam sesaat. Mata bulatnya sangat bening, wajahnya memerah dan ekspresi kesal itu menarik perhatian ku sepenuhnya. Dia cantik sekali, tahi lalat di dagu nya menambah kesan manis dan tak bosan untuk dipandangi. Aku melambaikan tangan kepadanya, dia merengut karena sudah pasti merasa aneh akan sikapku yang sok kenal.
"Hai."
Dia tidak membalas sapaan ku, justru berjalan menjauh tanpa mengalihkan pandangan nya dariku. Baru pertama kali aku bertemu orang selucu dia, bahkan tanpa dia mengeluarkan suara pun aku bisa tertawa berulang kali.
Melihatnya semakin jauh aku pun tak mau kehilangan jejaknya, aku berlari menyusul gadis itu dan ternyata kami satu kelas. Sayang nya belum sempat aku menegurnya lagi, bel tanda Upara akan segera dimulai berbunyi.
Aku melupakan Tian dan Engga, tapi tak apa-apa karena mereka sudah biasa mendapatkan hukuman. Hari ini aku harus ikut upacara, pertama kali selama bersekolah. Cuma untuk berdiri dibelakang gadis itu, berulang kali guru didepan sana mengingatkan agar aku pindah ke belakang karena terlalu tinggi tetap saja ku abaikan.
Kami berdiri dengan jarak dekat, dan semakin aku menyadari kalau dia memang sangat mungil.
Kegiatan sekolah itu sangat membosankan, selain karena membuang waktu aku juga tidak suka berbaur dengan anak-anak pintar disini. Kebanyakan dari mereka sering mengolokku karena berandalan, padahal aku tidak terlalu nakal. Berkelahi jika ada yang mengganggu saja, selebihnya aku hanya membolos.
Aku tidak pernah ikut tawuran, aku juga tidak merokok karena hobiku berolahraga. Jadi sebisa mungkin aku menjaga kesehatan, tetap saja orang-orang yang telah mengenal namaku selalu berkata bahwa kami adalah berandal nakal yang tak tahu aturan.
Aku tidak menyangka kalau upacara itu sangat lama, karena hampir mati kebosanan tak ada yang bisa ku lakukan akhirnya aku menarik rambut gadis didepan ku satu helai. Dia tidak bergerak sejak tadi, khawatir kalau dia akan pingsan. Walau pun aku tidak keberatan mengangkatnya, tetap saja hal itu bukan pertanda baik bagi kesehatan seseorang.
Dia menggeram karena aku menarik rambutnya, pelan namun terdengar ditelingaku dia menyuruhku agar berhenti menarik rambutnya. Aku tak mau berhenti, lagi pula aku tidak mencabut semuanya.
Karena terlalu asik memainkan rambutnya, aku tersentak ketika dia menoleh dan akhirnya rambut panjang miliknya tercabut beberapa helai. Dia memakiku sangat kasar dan aku tak bisa membalas nya, rambut nya yang tertarik tak sengaja ku simpan dalam saku celana. Kelihatan nya dia benar-benar marah, tapi aku semakin ingin mengerjainya.
Melihat sorot matanya yang menusuk memancing andrenalinku agar kembali mengganggu nya.
Dia menjauh dariku dengan maju dua langkah, tidak kubiarkan begitu saja. Aku memegang bahu nya agar mundur dan mendekat kembali, dia mengeluarkan kata-kata yang lagi membuatku tertawa.
"Mau lo apasih? Nggak ada kerjaan kah, narik rambut gue!"
Ekspresi marah yang harusnya menyeramkan justru sangat menggemaskan dimataku.
Ku tatap bordiran namanya yang tertera di baju, Arpita.
Cantik sekali namanya, seperti yang punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY
ContoShort story ! Kumpulan Cerpen yang mungkin bisa menghibur anda sekalian :) Namanya juga cerita pendek, ya jangan ngarep panjang :) Karena aku nulis nya pun asalan aja :-D