first love (Arsina) 8

170 12 6
                                    

Kejadian kemarin tidak hanya menghebohkan seluruh siswa, tapi juga para guru yang penasaran dengan hubungan Jaya dan Amira.

Setiap kali aku lewat depan kelas dua belas, mereka secara sengaja menyebutkan kata pelakor dengan suara kencang supaya aku bisa mendengar. Tidak lupa ejekan yang sebelum nya tak terlalu sering ku dapatkan, kini nyaris setiap kali mereka melihatku maka akan keluar kata-kata tak pantas tertuju padaku.

Aku melihat Amira yang dipeluk oleh teman-teman nya, Desi yang berjalan di sebelahku pun mengeratkan pegangan nya. Aku mengusap tangan sahabat ku, meyakinkan dia kalau aku baik-baik saja tanpa tahu bahwa hatiku remuk didalam sini.

Jaya baru saja keluar dari ruang guru, aku tidak mengharapkan ia akan melihatku dan benar saja. Ia berjalan lurus menuju kelas kami, entah dia sadar atau tidak, hatiku semakin patah.

"Lo nggak salah, Na. Dari awal dia yang salah, gue yakin lo kuat. Sebentar lagi mereka lulus, kita masih punya setahun untuk nikmati waktu di sekolah."

Aku tersenyum mendengar harapan itu, Desi melihat semua nya. Dia tidak berpaling dariku disaat semua orang memilih percaya kepada ucapan Amira yang selalu menyudutkan ku, aku bersyukur setidak nya ada satu orang memihakku.

Namun aku pesimis tentang waktu yang akan kami nikmati setelah Amira lulus nanti, setelah semua orang tahu kalau Jaya dan Amira berpacaran, rumor buruk tentangku juga ikut menyebar. Dan secara tidak langsung aku menerima perlakuan buruk dari banyak orang, mereka memang tidak menyakiti ku secara fisik tapi jiwa ini mulai mati rasa.

Aku melihat Jaya sedang mengobrol dengan Eko, tampak sangat serius dan fokus. Aku pun memalingkan muka tak mau kedapatan memandangi nya. Hari ku berubah drastis, dimana aku bisa membagi kesedihan ini seperti saat bersama Jaya.

Sampai jam pulang aku tidak bicara sepatah kata pun, Desi memaklumi sikap pendiamku sekarang. Aku juga selalu menolak tawaran Desi untuk pulang bersama, aku hanya ingin jalan kaki untuk melepaskan beban dipundakku yang semakin berat.

Aku duduk dibawah pohon besar pinggir jalan, menghirup udara segar sebanyak mungkin. Rasa sesak yang kurasakan kini perlahan memberat, aku menutup wajahku dan kembali menangis.

Setiap hari hanya menangis yang ku lakukan, aku merasa tidak cukup baik entah itu sebagai anak, sebagai teman, juga sebagai seorang pelajar. Semua berkumpul menjadi satu dalam kepala ku, mengacaukan segala rencana dan harapan yang dulu kususun rapi. Merusak semua keinginan ku, mengubur paksa kesempatan diri ku untuk berkembang dengan baik. Aku terlena dengan kehadiran Jaya yang membuat ku bergantung pada nya, andai waktu bisa diputar kembali, aku ingin tak mengenal nya. Supaya aku tak perlu merasa di khianati, tak perlu merasa kesepian dan merindukan perhatian nya.

Aku menangis sendirian, tidak peduli beberapa pasang mata menatap aneh kepada ku, hatiku butuh pelampiasan.

"Lo nangis lagi, Na."

Aku melihat bayangan seseorang berdiri di hadapan ku, seseorang yang selalu memenuhi pikiran ku selama berhari-hari.

"Memang nya gue bisa apa selain nangis, gue nggak bisa apa-apa, keahlian gue cuma nangis dan nangis. Lo mengharap apa, Dika? Lo nggak mengharap gue sesempurna Amira kan? Gue nggak bisa dibandingin sama orang yang selalu sempurna dalam setiap hal."

Jaya masih berdiri didepan ku, tangis ku semakin menjadi. Aku butuh penjelasan, dan seharusnya Jaya menjelaskan semua hal yang tak ku ketahui. Harus nya dia mengejarku untuk memberitahu apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Amira, harus nya dia mengatakan kepada ku kalau Amira adalah orang jahat di antara kami tapi dia sama sekali tak melakukan apa-apa.

"Nggak ada yang sempurna, baik itu Amira atau siapapun. Kenapa lo terus membandingkan diri sama dia, lo berbeda dari Amira."

"Elo sendiri yang minta gue untuk tetap diam dan nurutin semua keinginan lo, gue ngelakuin semua yang lo minta termasuk jauhin lo."

"Lo tahu, seberapa besarnya rasa suka gue ke elo tapi lo bersikap seolah-olah perasaan gue nggak ada apa-apa nya. Lo tahu, tapi milih nggak peduli. Kita berdua egois, lo mau tetap kaya gini dan gue terima. Tapi kenapa saat gue mau lebih dari ini, lo maksa gue untuk mundur? Lo pikir, cuma lo aja yang menderita?"

Jaya menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan posisi ku, matanya memerah begitu juga wajah nya. Aku ingin sekali menyentuh nya tapi sadar kalau aku melakukan nya, maka kami akan benar-benar merubah semua nya. Aku tidak mau, aku tidak bisa.

"Tinggalin gue sendiri."

Aku ingin mengunci mulutku sendiri karena lancang berkata seperti itu, bertolak belakang dengan isi hatiku. Ada apa dengan ku, kenapa aku terus menyiksa diri padahal dia selalu mengejar ku kemana pun aku bersembunyi.

"Jangan ikutin gue lagi, gue tahu lo selalu ngikutin gue sampai rumah. Gue juga tahu lo yang setiap malem main sama anak-anak tetangga gue, ngajak mereka main gitar dan nyuruh mereka manggilin gue, gue tahu setiap pagi lo beliin mang oman sarapan. Gue tahu itu elo, stop lakuin itu. Nggak akan merubah apapun tentang kita."

Aku akan menyesali setiap kata-kata yang meluncur dari mulut ini, Jaya terdiam seribu bahasa. Kalau saja kami tidak dalam keadaan yang rumit, aku pasti merasa sangat disukai karena usaha Jaya begitu keras untuk menarik perhatian ku bahkan setelah banyak nya penolakan.

"Lo nggak bisa nyuruh gue berenti tanpa kasih kesempatan, dan sampai mati pun gue nggak mau berenti lakuin itu."

Jaya menarik tangan ku berdiri, aku tidak ada tenaga untuk melawan. Hanya ikut kemana dia akan membawa ku, kalau ada anak sekolah kami yang melihat ini pasti beson akan ada gosip baru lagi.

"Hari ini biarin gue jadi alasan lo untuk ketawa lagi, kita terlalu banyak alasan padahal tinggal bilang iya, gue akan selalu ada dekat lo na. Amira bukan siapa-siapa dalam hidup gue, dia cuma sahabat gue dan ibu nya sangat percaya sama gue untuk jaga Amira."

Aku mendengus mendengar penuturan Jaya, aku mungkin bodoh tapi aku tidak buta dan amnesia untuk mengingat hari itu mereka sempat berciuman, dan kata-kata Amira kemarin soal dirinya yang sudah tak bersih.

"Soal ciuman waktu itu, lo lihat dari sudut yang salah. Gue pernah ciuman sama Amira, apalagi sampai ngerusak dia."

"Terus kenapa lo tiba-tiba bangun dan marah pas liat gue, lo kesel karena ketauan gue kan? Iya kan?"

Dia menggeleng tidak membenarkan tuduhan ku, wajahnya serius sekali.

"Demi Tuhan, gue nggak ciuman sama Amira. Dia cium pipi gue, dan posisi nya emang bikin orang salah paham. Lo liat gue, apa gue terlihat seperti bangsat yang nggak tahu aturan?"

Aku meneliti wajah nya dan mencari kebohongan, Jaya mungkin selalu berkata omong kosong tapi ia tak pernah membohongi ku.

"Terus kenapa dia bilang begitu?"

"Gue emang nakal, tapi nggak akan ngehancurin masa depan anak orang. Amira terlalu nekad karena berani ngomong gitu, lo nggak perlu percaya gue. Cukup terima aja apa yang gue lakuin, bisa?"

"Enggak bisa, selama lo masih pacaran sama Amira. Gue pasti jadi orang jahat, dan orang-orang bakalan ngecap gue pelakor. Lo merusak masa indah sekolah gue, Dika."

"Gue nggak suka lo manggil nama itu, panggil gue Jaya seperti lo yang biasanya."

"Terserah gue mau manggil apa, nggak ada larangan juga."

"Tapi gue lebih suka di panggil Jaya."

"Gue nggak janji bisa melindungi lo dari ejekan teman-teman Amira, lo sendiri tahu dia dikenal banyak orang tapi sebisa mungkin gue akan buat mereka mengerti kenapa gue milih elo dari pada dia. Lo mau kan, percaya sama gue?"

"Kita nggak harus pacaran na, gue nggak mau ganggu konsentrasi lo dalam belajar tapi jangan tutup semua jalan gue untuk datang ke elo. Kalo nanti setelah lulus lo masih nggak bisa, ya gue tetap akan terima keputusan nya. Buat sekarang, tolong bikin hidup gue penuh tantangan dengan cara maksa deketin lo."

Jaya, seandainya saja lo tahu kalau hati gue sangat senang mendengar itu semua keluar dari mulut lo. Pasti lo akan lompat-lompat kegirangan, tapi untuk saat ini kita emang nggak harus pacaran. Kita cukup saling melengkapi, dan gue mau melangkah disamping lo.

Kalau motto hidup lo adalah menaklukan hati gue, maka tujuan hidup gue adalah jadi satu-satu nya di hati lo.

Adil kan?

SHORT STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang