first love (Arsina) 4

95 10 0
                                    

Rintik pagi itu membuat sebagian kendaraan tak bisa berjalan lancar, di beberapa titik ada genangan air yang cukup tinggi sehingga motor atau mobil yang lewat harus pelan-pelan dan mengantri. Sina melihat barisan didepan nya, ia bisa terlambat jika harus menunggu giliran. Ia mengedarkan pandangan, ini sudah tak jauh dari sekolah nya. Sina melepas sepatu dan kaus kaki nya, kemudian membuka helm untuk di kembalikan pada mang Oman.

"Sina turun disini aja mang, nggak bisa kalo nungguin begini."

"Tapi ini masih lumayan jauh, Na. Naik deh biar mamang terobos aja."

Sina menggeleng tidak mau merepotkan mang Oman, lagi pula ia sudah terbiasa jalan kaki. Sina hanya naik ojek saat pagi, pulang sekolah ia selalu jalan kaki.

"Jangan mang, lagian ini macet banget. Takut nabrak orang malah makin bermasalah, Sina jalan aja ya. Makasih mang udah nganterin Sina, hati-hati putar balik nya takut nyenggol motor orang."
Mang oman tak tega membiarkan Sina jalan kaki, tapi macet nya mengular dan sulit untuk menerobos. Akhirnya ia membiarkan gadis itu berjalan sendirian.

Sina tidak peduli orang-orang menatap aneh kepada nya, berjalan tanpa alas kaki dengan seragam yang mulai basah. Ia terus berjalan melewati barisan motor, hingga betis nya tak sengaja terkena knalpot panas namun ia sekuat tenaga menahan pedih. Setelah berhasil keluar dari kerumunan, Sina baru mengecek kaki nya yang terkena knalpot tadi. Ruam kemerahan jelas terlihat, ini pasti akan mengembung nanti. Sadar kalau ia bisa terlambat jika terus memerhatikan luka nya, Sina pun kembali melanjutkan perjalan dengan langkah lebar.

Entah sudah berapa lama Sina berjalan, yang jelas gedung sekolah nya sudah terlihat dari kejauhan. Sayang nya langkah Sina harus terhenti karena bunyi klakson yang sangat nyaring, sampai ia terpaksa menutup telinga.

Dika duduk santai diatas motor, tidak tinggal senyum manis nya yang menurut Sina sangat menyebalkan. Gadis muda itu mendelik tajam kepada Dika yang memamerkan deretan gigi bersih nya karena berhasil memancing emosi di pagi hari yang mendung begini.

"Ikut nggak? Nanti telat, udah jam berapa ini."

"Gue nggak punya ongkos lagi mau bayar, biar jalan kaki aja. Bentar lagi juga nyampe, duluan aja."

Sina sedang malas berdebat dengan Dika, kaki nya masih panas dan perih, jantung nya pun masih berdebar keras karena bunyi klakson pemuda itu.

"Woi, gue bukan tukang ojek kali mau di bayar segala. Udah naik, buruan! Telat bisa lari lapangan nanti, kegantengan gue berkurang kalo di hukum."

Sina menimang rasa ingin ikut tapi, benarkah tidak apa-apa? Soalnya dia belum pernah dibonceng lelaki lain selain mang Oman, bahkan abang nya pun enggan mengajak Sina naik motor bersama. Aneh rasanya jika ia duduk berdekatan dengan Dika yang bukan siapa-siapa.

"Arsina! Lo di ajak naik motor malah bengong, cepet naik! Aduh, ni anak kena angin apa pagi-pagi."

"Nggak akan terjadi apa-apa bareng gue, paling cenat-cenut dikit hati abang Dika."

"Jangan ngebut ya, nanti gue jatoh bisa kena tuntut lo sama emak gue."

"Aman aja selama nafas abang masih berdesah ah ah ah. Naik cepet, lambat banget kaya siput!"

"Lo bener-bener bukan manusia nomal, Jaya."

Dika membantu Sina naik ke motor nya dengan memberikan tangan sebagai tumpuan berpegang, ia juga mengambil alih sepatu Sina untuk digantung ke leher dengan tali sepatu yang sudah ia ikat lebih dulu. Sina duduk menghadap ke depan, menatap punggung Dika yang memakai jaket parasut.

"Pegangan sama abang, nanti ketinggalan nggak tanggung jawab."

Sina menarik ujung jaket Dika, tidak mau terlalu dekat dengan pemuda itu. Motor pun berjalan pelan, namun setelah melaju Dika memutar gas hingga setengah membuat kendaraan roda dua itu melaju sangat kencang. Sina pun terpaksa memegang bahu Dika, agak menyesal menerima tawaran ini.

SHORT STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang