first love (Arsina) 6

83 7 3
                                    

Arsina Pov

Aku merebahkan kepala diatas meja, hari ini perasaanku tidak enak. Sejak pagi aku tidak bersemangat bahkan untuk bersuara, Desi yang terus bertanya kenapa aku begini pun tidak bisa ku jawab. Aku sendiri bingung ada apa dengan ku hari ini, aku memejamkan mata dan bayangan wajah sedih ibuku semalam kembali teringat. Aku tidak tahu masalah apa yang sedang ibu hadapi, namun tangis nya begitu menyayat hati.

Ibuku melakukan tahajud seperti biasa, namun semalam aku tidak tahu apa yang terjadi sehingga di sujud terakhirnya ibu menangis. Hatiku ikut bersedih mendengar nya, aku juga ingin menanyakan penyebab ibu menangis tapi lidahku kelu ketika melihat ia masih bisa tersenyum di pagi hari.

Aku tidak tahu bila menjadi orangtua akan seberat itu, karena ibuku tidak pernah mengeluh tentang kesulitan hidup. Ia berpegang teguh pada keyakinan bahwa Tuhan akan selalu membantu kami dalam keadaan apapun, aku ingin memeluk ibuku hanya untuk meringankan rasa sedih nya tapi beliau selalu menunjukkan kekuatan nya.

Aku merasa sesuatu yang hangat membasahi kelopak mata, bohong jika itu tidak membebani ku. Ketakutan akan gagal dalam menjadi anak yang berbakti sangat memengaruhi pikiran ku, sejauh ini aku belum pernah menghadapi masalah serius dan menguras emosi tapi bila itu menyangkut hati ibu, aku takut.

Aku takut apa yang kulakukan membuat nya kecewa, aku menangis dalam diam. Aku menutup wajahku, membiarkan air mataku membasahi meja. Semangat belajar ku menurun drastis hari ini, beruntung hari ini tidak ada yang mengganggu.

Aku merasa lebih baik setelah menangis, aku belum terbiasa meluapkan isi hati dengan membicarakan perasaannku kepada orang lain, maka dari itu menangis adalah hal terbaik yang bisa kulakukan tanpa merepotkan siapapun.

Seseorang mengelus punggung ku, Desi pasti khawatir dengan sikap ku. Usapan lembut nya membuat hatiku semakin ingin menangis, aku membiarkan kesedihan ini keluar habis karena aku tidak akan sanggup memendam nya lebih lama.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menutup wajah dan menangis, suara bell pertanda jam istirahat selesai terdengar. Aku bahkan melewatkan jam sholat, hatiku benar-benar membaik. Kedua mata ku terasa berat dan itu sudah pasti karena terlalu banyak menangis, aku mengucapkan terima kasih kepada Desi dengan tulus.

Sayang nya ketika aku menoleh, bukan Desi yang duduk di sebelahku melainkan Jaya. Aku mendapati ekspresi itu lagi dari Jaya, akhir-akhir ini aku selalu melihat raut itu namun tidak pernah mengerti kenapa ia menatapku begitu.

"Sorry, tadi gue kira Desi yang ngelus gue."

"Gue nggak akan nanya kenapa dan alasan nya, tapi apapun itu, lo harus semangat."

Aku ingin sekali tersenyum mendengar kata semangat, tapi air mataku kembali turun. Aku ingin sekali mengatakan kalimat itu kepada ibu, namun aku tidak bisa. Aku merasa akan sangat canggung bila berani mengatakan nya, padahal dia ibu yang paling ku cintai. Jaya pasti akan meledek ku lagi setelah ini, aku menghapus air mataku namun ia tak mau berhenti.

Aku sangat iri pada Jaya, dia bisa berkata apapun yang di inginkan. Mengungkapkan perasaan nya tanpa merasa dibebani tanggapan orang lain, aku iri dengan dia karena bisa menjadi pusat perhatian orang lain sedangkan aku sama sekali tak ingin menunjukkan diri. Dia adalah manusia menyebalkan tapi juga ku butuhkan kehadiran nya, aku tidak menyesal menghabiskan energi ku untuk meladeni tingkah nya. Sungguh!

Kita tidak pernah tahu kapan mengalami perubahan dalam hidup, melalui sebuah proses yang terkadang sangat menyakitkan atau sulit memahami kesalahan sendiri.

Aku merenung dalam kesunyian, aku tidak pernah memikirkan kalau pendewasaan akan secepat itu datang kepada ku. Dan aku dipaksa untuk menerima segala yang terjadi dalam kehidupan ku tanpa bisa protes, dan rasa nya ada ribuan lebah sedang berdengung dalam kepala ku mendengar ibu menceritakan kesulitan nya kepada abang.

SHORT STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang