Desir angin malam memukul lembut kaca jendela.
Wooyoung menarik napas dalam, mencoba mengenyahkan rasa gelisah yang menempel seperti kabut tipis. Di depannya, sebuah surat tua dengan tinta kecokelatan tergeletak. Surat itu ditemukan di loteng rumah lama keluarganya saat ia memutuskan kembali ke desa untuk mencari ketenangan. Namun, surat itu lebih terasa seperti jerat, menariknya ke dalam labirin misteri.
“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku cari, tapi surat ini terus menghantui pikiranku,” gumam Wooyoung sambil melipat tangan di atas meja.
Langkah ringan terdengar dari balik pintu. San, sahabatnya sekaligus orang yang selalu ia andalkan, muncul dengan segelas teh di tangannya. Pandangannya mengarah ke surat itu.
“Kau memikirkan hal yang sama lagi, ya?” tanya San, meletakkan teh di meja.
Wooyoung mengangguk pelan. “Surat ini tidak masuk akal, San. Tulisannya seperti... sebuah teka-teki. Seakan ada sesuatu yang disembunyikan.”
San menarik kursi di hadapan Wooyoung. Mata hitamnya berbinar di bawah cahaya redup lampu minyak. “Kalau begitu, kenapa tidak kau ceritakan saja isi suratnya dari awal? Aku bisa membantumu mencernanya.”
Wooyoung menatap San sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah. Begini bunyinya:
‘Untuk jiwa yang hilang, jawabannya ada di tengah malam. Di mana cahaya terakhir menyentuh bayangan pertama. Jangan takut pada kegelapan, karena di situlah kebenaran tinggal.’
Hanya itu. Tidak ada nama pengirim, tidak ada tanggal. Kau bisa bayangkan betapa anehnya ini, kan?”
San mengerutkan dahi. “Tengah malam… cahaya terakhir? Ini terdengar seperti riddle klasik. Apa kau mencoba mencocokkannya dengan sesuatu di sekitar rumah ini?”
Wooyoung menghela napas. “Aku sudah mencari di setiap sudut rumah, bahkan di loteng tempat surat ini ditemukan. Tidak ada apa pun yang aneh.”
San memandangnya dengan tatapan penuh simpati. “Mungkin kau butuh sudut pandang baru. Mari kita lihat bersama malam ini. Kita bisa mencoba menafsirkan petunjuk itu secara harfiah.”
Malam semakin larut ketika keduanya keluar ke halaman belakang. Bintang-bintang bertaburan di langit, namun suasana terasa sunyi, hanya dihiasi suara angin yang bermain-main dengan dedaunan.
“Di mana kita harus mulai?” tanya Wooyoung, menggigil di balik jaketnya.
San melipat kedua tangan, matanya mengamati sekeliling. “Bayangan pertama… Kita tunggu cahaya terakhir. Mungkin petunjuknya ada di bulan. Lihat, itu akan berada di puncaknya beberapa menit lagi.”
Keduanya berdiri diam, menatap langit. Tepat saat bulan mencapai posisi tertingginya, bayangan tiang lampu tua di halaman membentuk garis lurus menuju pagar belakang.
San menunjuknya. “Bayangan pertama. Kau lihat itu? Arahkan pandanganmu ke ujungnya.”
Wooyoung mengikuti arah bayangan itu. Di dekat pagar, ada sebuah batu besar yang tidak pernah ia perhatikan sebelumnya.
“Kita lihat apa yang ada di sana,” kata Wooyoung, sedikit bersemangat.
Mereka berjalan mendekat. Batu itu tampak biasa saja, tetapi ketika Wooyoung berjongkok dan mengetuknya, suara kosong terdengar dari dalam.
“Ini pasti sesuatu,” ujarnya. Ia mulai menggali tanah di sekitar batu dengan tangan kosong. San, tanpa berkata apa-apa, ikut membantu.
Setelah beberapa saat, sebuah kotak kayu kecil muncul. Wooyoung membukanya dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada sebuah foto hitam-putih seorang wanita muda dan sebuah catatan singkat.
‘Aku menunggumu di tempat kita berjanji.’
“Siapa wanita ini?” Wooyoung bertanya pelan. “Dan tempat kita berjanji… Apa maksudnya?”
San mengamati foto itu, mencoba mengingat sesuatu. “Tunggu. Wanita ini… Dia terlihat seperti nenek buyutmu, bukan? Aku pernah melihat potretnya di ruang tamu rumah utama keluargamu.”
Wooyoung memicingkan mata. “Kau benar. Tapi janji apa yang dia maksud? Apa mungkin ini terkait dengan cinta lamanya?”
San memiringkan kepala. “Kakek buyutmu tidak pernah menceritakan apa pun tentang janji. Tapi bukankah ada rumor tentang seorang pria yang pernah dekat dengannya sebelum dia menikah? Seorang yang tidak pernah kembali…”
Wooyoung mengangguk pelan. “Cinta pertama yang tidak pernah terungkap. Jika ini benar, maka… tempat mereka berjanji itu pasti penting.”
San menepuk bahu Wooyoung, seolah memberikan dorongan. “Kalau begitu, kita harus mencarinya. Aku akan menemanimu sampai kita menemukan jawabannya.”
Ada keheningan sejenak. Wooyoung menatap San, dan entah kenapa, di balik rasa gelisahnya, ia merasa aman. “Terima kasih, San. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”
San tersenyum lembut.
Wooyoung merasa bahwa misteri ini bukan hanya tentang masa lalu keluarganya, tetapi juga tentang kehadiran San yang tanpa ia sadari sudah menjadi bagian penting dari hidupnya.
Dan mungkin, jawaban sebenarnya bukan hanya tentang surat itu, tetapi tentang apa yang hatinya sendiri inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
Fiksi PenggemarSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456