We go up

42 8 0
                                    

Matahari pagi menyinari permukaan kaca jendela gedung pencakar langit yang baru saja selesai dibangun. 

Choi San menatap jam di pergelangan tangannya, sesekali menghela napas panjang. Ia berdiri di depan lift gedung itu, menunggu bersama beberapa pekerja konstruksi yang terlihat lelah.

San baru saja mendapat pekerjaan baru di salah satu perusahaan startup terkenal, dan ini adalah hari pertamanya. Mengenakan kemeja putih bersih dan dasi biru yang diikat terlalu kencang, ia berusaha mengusir rasa gugupnya.

“Lift ini lambat sekali,” gumamnya.

“Bukan liftnya yang lambat. Kau saja yang terlalu tidak sabar,” jawab seseorang di sebelahnya.

San menoleh dan menemukan seorang pria bertubuh kekar dengan kemeja kasual dan ransel di punggungnya. Wajahnya terlihat seperti pahatan sempurna, dan alisnya yang tebal menambah kesan serius.

Pria itu menatapnya sekilas sebelum kembali melihat layar ponselnya.

“Maaf, kau siapa?” tanya San dengan nada bingung.

Pria itu mengangkat bahu. “Aku Jongho. Pekerja konstruksi gedung ini. Dan kau?”

“San. Karyawan baru di lantai 40,” jawab San cepat. Ia sedikit terintimidasi dengan cara bicara Jongho yang datar.

“Apa lantai 40 sudah selesai direnovasi?” tanya Jongho, tampak ragu.

San tertegun. Ia tidak yakin. Tapi sebelum ia sempat menjawab, pintu lift terbuka dengan bunyi ding! yang keras.

Mereka berdua masuk ke lift bersama beberapa orang lainnya. San menekan tombol 40, sementara Jongho menekan tombol untuk lantai 45. Lift itu mulai bergerak naik dengan suara dengungan mesin.

Namun, baru saja mereka mencapai lantai 20, lift mendadak berhenti. Lampu di dalam lift berkedip-kedip sebelum padam.

“Hah?!” San panik. “Apa yang terjadi?”

Jongho menghela napas panjang. “Sepertinya kita terjebak.”

Setelah beberapa menit dalam kegelapan, lampu darurat menyala, memberikan pencahayaan redup.

San duduk di sudut lift, wajahnya memucat. “Aku benci tempat sempit,” gumamnya, menatap dinding lift dengan cemas.

Jongho, yang tampak jauh lebih tenang, duduk di seberangnya. “Tenang saja. Teknisi pasti segera memperbaikinya.”

“Bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau kita terjebak di sini selamanya? Aku belum membuat kesan pertama yang baik di kantor!”

“Selamanya? Kau terlalu dramatis,” jawab Jongho, menahan tawa kecil.

San memelototinya. “Aku serius! Ini adalah hari pertamaku. Aku tidak mau orang-orang menganggapku tidak bertanggung jawab hanya karena datang terlambat!”

Jongho menatap San beberapa detik, lalu bersandar pada dinding lift. “Kau terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan. Hidupmu pasti melelahkan.”

San terdiam. Jongho mungkin benar, tapi ia tidak suka caranya mengatakannya begitu saja.

“Jadi, bagaimana denganmu?” tanya San akhirnya, mencoba mengalihkan perhatian. “Kenapa kau bekerja di sini?”

Jongho mengangkat bahu. “Aku suka membangun sesuatu. Ada kepuasan saat melihat sesuatu yang kau kerjakan berdiri kokoh dan digunakan orang banyak.”

“Wow,” kata San pelan. “Itu jawaban yang sangat… filosofis.”

Jongho mengangkat alis. “Kenapa? Kau pikir semua pekerja konstruksi tidak punya sisi filosofis?”

“Bukan itu maksudku!” San tergagap. “Aku hanya… ya, tidak menyangka.”

“Orang sering salah menilai,” jawab Jongho sambil tersenyum kecil. “Itu hal biasa.”

San memperhatikan Jongho. Senyum itu, meskipun samar, terlihat hangat. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka masuk lift, San merasa sedikit lebih tenang.

Beberapa jam berlalu, dan mereka masih terjebak di lift. San mencoba mengisi waktu dengan menggambar pola abstrak di lantai lift menggunakan ujung sepatunya.

“Apa hobimu?” tanya Jongho tiba-tiba.

“Hobiku?” San berpikir sejenak. “Mungkin mendengarkan musik. Aku suka lagu-lagu upbeat yang membuatku semangat.”

“Kau suka bernyanyi?”

“Tidak, suaraku buruk,” jawab San cepat.

Jongho terkekeh. “Tidak ada yang suaranya lebih buruk dariku. Aku bahkan tidak bisa menyanyikan lagu ulang tahun dengan nada yang benar.”

San tertawa untuk pertama kalinya hari itu. “Aku rasa kita cocok.”

“Cocok?” Jongho menatap San dengan mata menyipit, seolah mencoba menilai keseriusannya.

“Maksudku, sebagai teman,” jawab San cepat, pipinya sedikit memerah.

Jongho tersenyum tipis, kali ini lebih tulus. “Mungkin.”

Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti selamanya, lift mulai bergerak lagi. San hampir melompat kegirangan ketika pintu terbuka di lantai 40.

“Semoga harimu baik,” kata Jongho sebelum melangkah keluar di lantai 45.

“Terima kasih. Kau juga!” balas San.

Namun, itu bukan akhir dari cerita mereka.

Beberapa hari kemudian, San menemukan dirinya berdiri di kafe dekat kantor, menunggu pesanannya. Ia hampir tidak memperhatikan seseorang berdiri di sebelahnya sampai suara familiar memanggil namanya.

“San.”

San menoleh dan menemukan Jongho, kali ini tanpa seragam konstruksinya. Ia mengenakan sweater hitam dan jeans, terlihat lebih santai tapi tetap memukau.

“Oh, hai! Kau di sini juga?”

“Aku sering datang ke sini setelah bekerja. Dan kau?”

“Baru pertama kali mencoba. Tempat ini direkomendasikan oleh rekan kerjaku.”

Mereka berbicara sebentar sebelum Jongho berkata, “Kalau begitu, biar aku yang bayar kopimu hari ini. Anggap saja balasan karena kau menemaniku di lift waktu itu.”

San tertawa. “Aku tidak punya pilihan, ingat?”

“Benar,” jawab Jongho sambil tersenyum.

Dan saat mereka berjalan keluar kafe bersama, San merasa bahwa, entah bagaimana, ia akan sering melihat Jongho lagi.

Karena, seperti lift yang membawa mereka naik bersama, hubungan mereka juga baru saja mulai bergerak ke atas.

Sanzzy Episode • All × SanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang