83. Party Waiter (Hyungline)

288 13 0
                                    

Party Waiter (Hyungline)

Happy Reading

Hari itu, aku pulang ke rumah dengan langkah berat. Hati terasa seperti terbebani batu besar. Di depan pintu, Ibu tiriku, wanita yang telah menghancurkan keluargaku, sudah menunggu dengan tatapan tajam. Wajahnya yang licik dan penuh perhitungan membuat perutku seketika mual.

"Mana uang gajianmu bulan ini?!," ucapan yang pertama kali kudengar setelah sampai dekatnya.

"Tak ada. Aku dipecat dan tidak diberi gaji," ucapku sedih saat harus mengingat tadi di kantor. Aku melakukan kesalahan karena menampar bossku dan membuatnya kesal. Dia terlalu mesum hingga aku tak tahan lagi.

"Mwo!?" suaranya dingin, tajam seperti pisau. "Kau dipecat? Lagi?,".

Aku tak bisa menjawab, hanya menundukkan kepala. Sebenarnya, aku tahu apa yang akan terjadi. Seperti biasa, dia tidak peduli dengan apa yang kurasakan, hanya peduli dengan uang yang berhenti mengalir.

"Dasar tidak berguna! Kalau begini aku tidak bisa pergi shopping dengan temanku!!," bentaknya sambil melayangkan tamparan keras ke wajahku.

PLAK

Rasa sakit menjalar, bukan hanya di pipi, tetapi jauh di dalam hati. "Kau pikir aku bisa hidup tanpa uang? Kau pikir siapa yang membesarkanmu? Kau punya hutang padaku, Hyeonsoo. Dasar tidak tahu diri!,".

Aku terdiam, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Perkataan dan pukulannya tak henti-hentinya menghujam, dan kenangan akan Ayahku mulai kembali menghantui.

Ayah yang penuh kasih sayang, yang hidupnya direnggut oleh wanita kejam gilang uang ini. Wanita yang kini berdiri di hadapanku, memanfaatkan setiap kesempatan untuk membuat hidupku sengsara.

"Ayahmu mati-matian bekerja hanya untuk punya anak seperti kau?," katanya lagi dengan nada mengejek. "Kau bahkan tidak bisa mempertahankan pekerjaanmu. Tidak heran Ayahmu mati muda, pasti karena stres mengurusmu!,".

Rasanya dadaku sesak, nyaris tak bisa bernapas. Amarah, kesedihan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, membuat air mataku tak bisa lagi dibendung. Aku menangis, tangis yang sudah kutahan sejak Ayah pergi, tangis yang menggambarkan betapa hancurnya aku hidup bersama Ibu tiri.

"KAU YANG MERACUNI AYAH!," teriakku karena itu kenyataannya. Aku melihatnya sendiri.

“Hyeonsoo! Jika kau tidak dapat uang, aku akan menjual rumah ini!,” teriaknya. 

Setelah itu, tanpa berpikir panjang, aku berlari keluar dari rumah, meninggalkan suara teriakan Ibu tiriku yang memanggil-manggil. Aku terus berlari, tak peduli ke mana kaki membawaku, hanya ingin menjauh, sejauh mungkin dari neraka yang kusebut rumah. Hujan mulai turun, tapi aku tak peduli. Air mata bercampur dengan tetesan hujan di pipiku, menutupi rasa sakit yang masih membekas.

Aku merasa kosong, lelah, dan putus asa. Tapi, di tengah kegelapan itu, ada tekad yang tumbuh. Aku tak akan membiarkan diriku dihancurkan lebih jauh lagi. Aku harus bertahan, bukan untuk Ibu tiriku, bukan untuk siapa pun, tapi untuk diriku sendiri. Aku harus kuat, meski saat ini aku merasa sangat rapuh.
Dengan segala kekacauan dalam hatiku, aku terus berlari, meninggalkan semua di belakangku.

***

Aku terduduk di pinggir trotoar, tubuhku gemetar dan basah oleh hujan. Dengan tangan yang masih bergetar, aku merogoh saku untuk mengambil ponsel.

Pikiranku kacau, tapi hanya ada satu orang yang bisa kuminta bantuan sekarang—Heeseung, pacarku. Dengan susah payah, aku menekan nomor Heeseung. Setelah beberapa dering, suara hangatnya terdengar di ujung sana.

Halo Heeseung… aku butuh kau sekarang,” suaraku hampir tenggelam dalam tangisan.

Wae geurae? Aku akan segera ke sana. Tunggu di tempat yang aman, oke?," jawabnya cepat, tanpa pertanyaan, tanpa keraguan.

Beberapa menit kemudian, suara raungan motor besar terdengar semakin dekat. Ketika Heeseung muncul di depanku, aku langsung berlari ke pelukannya. Pelukan itu membuatku merasa sedikit lebih tenang, tapi air mata masih saja mengalir tanpa henti.

“Hei, apa yang terjadi? Kenapa kau basah kuyup sambil menangis seperti ini?,” tanyanya sambil merangkulku erat, melindungiku dari hujan yang mulai mereda.

Aku mencoba menenangkan diri, menceritakan semuanya pada Heeseung—tentang pemecatan, amarah Ibu tiri, dan rasa sakit yang kurasakan. Dia mendengarkan dengan seksama, wajahnya berubah tegang saat aku menyebutkan tamparan yang kuterima.

“Heeseung, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku tidak bisa balik ke rumah itu sekarang," isakku.

Heeseung mengusap rambutku dengan lembut, lalu menatapku dengan mata yang penuh keyakinan. “Tak apa, Chagiya. Aku ada di sini untukmu.  Dan... sebenarnya, aku punya sesuatu untuk menyelesaikan masalahmu,".

“Apa itu?," tanyaku, sedikit penasaran di tengah rasa takut yang masih mencekam.

“Aku punya teman yang akan mengadakan pesta ulang tahun di sebuah villa," ujarnya pelan, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. “Dia butuh seseorang untuk membantu sebagai pelayan pesta. Pekerjaannya mudah, dan kau akan dibayar mahal. Kau butuh uang untuk meredakan amarah Ibumu kan?,".

Aku terdiam sejenak, merasa ragu. “Pelayan pesta? Maksudnya bagaimana?,"

Heeseung mengangguk, “Iya, cuma membantu melayani, menuangkan minuman, dan sejenisnya. Aku akan ada di sana juga, jadi kau tidak perlu khawatir. Kalau ada apa-apa, aku yang akan melindungimu,".

Rasa takut menyelinap di dalam hatiku. Aku belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu sebelumnya, dan pikiranku dipenuhi berbagai skenario buruk. Tapi di sisi lain, aku juga takut dengan reaksi Ibu tiriku jika aku tak bisa mendapatkan uang secepatnya. Dengan Heeseung di sisiku, setidaknya ada seseorang yang bisa kuandalkan.

***

Pagi tiba dan aku terbangun di apartemen Heeseung setelah semalam yang penuh kecemasan. Kamar yang sederhana tapi nyaman itu memberikan sedikit ketenangan, namun kegelisahan tak pernah benar-benar hilang dari pikiranku. Malam ini adalah malam di mana aku akan memulai pekerjaan yang ditawarkan Heeseung—sebagai pelayan di pesta ulang tahun temannya.

Saat Heeseung menjemputku di kamar, dia terlihat sangat tenang dan penuh perhatian, berbeda dengan diriku yang masih diliputi kecemasan.

Lalu, saat malam tiba, aku meluncur ke arah villa tempat pesta akan berlangsung dengan dibonceng motor Heeseung.  Perjalanan itu terasa lebih panjang dari biasanya, dan rasa tidak nyaman mulai menjalari tubuhku.

Sesampainya di villa, suasana terasa lebih mencekam daripada yang aku bayangkan. Aku turun menatap takjub interior villa mewah ini.

Heeseung memegang tanganku erat dan membawaku ke dalam ruangan di mana tiga orang pria tampan tengah duduk santai. Mereka tersenyum saat melihat kami masuk.

“Heeseung! Sudah datang juga,” salah satu dari mereka menyapa dengan antusias. Sepertinya keturunan Australia dengan rambut coklatnya.

Heeseung tersenyum tipis dan memperkenalkan aku kepada mereka. “Hyeonsoo, ini Jake, Sunghoon, dan Jay. Mereka teman-temanku, dan kita semua akan mengadakan pesta ulang tahun Sunghoon malam ini,".

Aku mengangguk canggung, merasa gugup di hadapan mereka. Sunghoon, pria dengan senyuman nakal, melirikku dari atas ke bawah, matanya menyiratkan sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman. Dia mendekat, lalu dengan santai berkata, “Senang bertemu denganmu, Hyeonsooku. Kau terlihat manis sekali. Cantik dan sexy juga tentunya," ucapnya memindai tubuhku.

Full hotnya ada di karyakarsa ya, kunjungi profilku untuk aksesnya

***














BITE ME 🔞⚠️[One Shoot Hyung 21++ & Maknae 18+] ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang