23. Anissa ~ Mama Fanny

7.3K 461 3
                                    




Aku tersadar karena ponselku berdering, ku lirik jam di dinding kamar Daniel, sekarang pukul tujuh pagi.

Mama Fanny

"Hallo?" jawabku masih dengan suara serakku.

"Sayang, masih tidur?" suara lembut Mama terdengar.

"Nissa tidur jam tiga, Mah."

"Oh, maaf sayang."

"Gak papa. Ada apa, Mah?"

"Kamu ngapain sampe tidur jam tiga? Ngerjain tugas kuliah atau mikirin anak Mama?" tanya Mama Fanny dengan suara yang dibuat segalak mungkin. Menghiraukan pertanyaanku sebelumnya.

"Mikirin anak Mama." jawabku jujur. Bibirku tertarik ke atas tanpa sadar.

Mama Fanny tertawa di seberang.

"Malam ini Daniel pulang kan?"

"Iya, Ma."

Aku mengerjap, mencoba mengembalikan kesadaranku sepenuhnya.

"Mama ada di Bandung dari semalam. Kamu mau jalan sama Mama gak?"

"Boleh, Mah."

"Kamu ada kegiatan hari ini?"

"Gak ada."

"Ya udah, Mama jemput kamu sejam lagi. Kita sarapan bareng."

"Oke, Mah."

"Baiklah."

"Ma?" tahanku ketika Mama sudah hampir memutus sambungan telpon.

"Iya, Sayang?"

"Nissa di apartement Daniel."

"Oh. Oke. Nanti Mama jemput disana."

"Oke."

"Bye, Sayang."

"Bye, Ma."

Aku menggeliat di kasur, memutar badanku bolak-balik agar aku bisa tersadar sepenuhnya. Aku masih ngantuk, tapi jalan sama Mama akan membuatku tidak memikirkan Daniel. Aku benci menunggunya. Aku benci merindukannya.

Mama Fanny. Tante Tiffany, Mama Daniel. Dia memaksaku memanggilnya Mama sejak beberapa bulan lalu. Hubungan Daniel dan orang tuanya jauh lebih baik sekarang. Meski Daniel kadang masih ketus sama Papanya. Entahlah, bagaimanapun aku membujuknya atau Papa Daniel mencoba mendekatinya, Daniel selalu menjaga jarak.

Aku ingat pertama kali Mama Fanny memintaku memanggilnya Mama, saat itu aku dan Daniel ke Jakarta. Mama menyiapkan makan malam di rumah. Hal yang sangat jarang terjadi, kata Daniel.

Ketika Daniel bertanya, ada apa, Mama Fanny dengan antusiasnya berkata makan malam untuk menyambut anak perempuannya, yaitu aku.

Aku dan Daniel heran, karena sudah sering kami ke Jakarta dan baru kali itu Mama Fanny berkata seperti itu tentangku.

Aku tentu saja senang sekali.

Jika kamu berasal dari keluarga yang kedua orang tuamu bercerai dan tinggal di kota yang berbeda, kamu akan merasa haus akan kasih sayang orang tua dan akan dengan senang hati menerima kasih sayang yang di tawarkan.

Itulah yang sedang ditawarkan Mama Fanny padaku.

Aku sangat senang dan menyambut baik ide memanggilnya Mama.

Saat makan malam, aku memanggil Papa Daniel, Om, yang membuatnya protes tak terima. Jadi aku juga memanggilnya Papa, yang disambut tawa senang dari Papa Nathan dan dengusan dari Daniel.

DanissaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang