Sudah pukul sepuluh malam Daniel belum kembali masuk ke dalam kamar. Tadi Ibu Titik memanggilku untuk makan malam tapi aku menolak keluar kamar karena mataku yang masih bengkak. Akhirnya Ibu Titik masuk dengan makan malam sayur bening dan ayam goreng yang aku pesan sebelumnya.
Tapi karena Daniel tidak ada, aku sama sekali tidak menyentuhnya. Kata Ibu Titik, Daniel sedari sore keluar dan belum kembali. Hanya mengingatkan pada Ibu Titik agar memastikan aku makan.
"Non, dimakan nasinya. Nanti Den Daniel khawatir kalo Non gak makan." bujuk Ibu Titik yang membuatku malah semakin sedih. Aku menangis membuat Ibu panik dan akan menelpon Daniel tapi aku cegah.
Daniel khawatir?
Jika dia khawatir, dia akan melihatku sendiri. Memastikan aku makan. Bukan meminta Ibu yang mengawasiku.
"Ayo, Non. Nanti Non sakit." Bu Titik belum menyerah. Memijit pelan betisku yang terbaring menutup wajahku dengan bantal karena tak ingin Ibu melihat wajahku yang berlinang air mata.
Bagaimana aku bisa makan? Daniel tidak ada. Aku terbiasa makan apapun dari Daniel dan sekarang dia tidak ada membuatku semakin yakin jika di memang sudah tidak peduli padaku.
Ok, aku mengerti jika dia memang sudah tidak punya perasaan padaku, tapi bagaimana dengan bayiku? Bayi kami? Apa dia tidak memikirkannya?
"Ibu. Nissa minta teh hangat aja. Gak mau makan." ucapku.
"Baik, Non." Ibu Titik keluar dengan mampannya yang tak tersentuh olehku.
Kepalaku terasa sakit sejak kami bertengkar sore tadi. Obat Daniel yang berada di nakaspun tidak dibawanya.
Memangnya dia bisa kemana di Malang? Dia gak punya teman di kota ini. Jalan pun dia masih pake google maps.Aku berbaring di kasur, mencoba tidur, namun kepalaku seperti akan pecah. Aku hanya bisa menangis dan menangis.
Tanpa sadar aku tertidur dan kembali tersadar pukul dua dini hari.
Aku memaksakan diri bangun dan keluar kamar. Tak ada tanda-tanda keberadaan Daniel. Aku mencoba membuka ruang kerjanya namun dia tidak ada. Aku berjalan menuju dapur demi meminum segelas air.
Aku begitu lapar tapi sama sekali tak berselera.
Aku duduk di sofa dan menyalakan tv.
Setelah lelah mencari chanel tv yang akan aku tonton, aku mengambil ponselku dan mencoba mendial nomor Daniel.
Tidak aktif.
Aku kemudian menelpon pos satpam dan Pak Ridwan yang mengangkat.
"Selamat malam." sapanya.
"Pak Ridwan yang piket ya?" balasku.
"Iya, Nya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Mm.. Mobil Bapak ada?"
"Ada, Nya. Mobil Tuan Daniel ada di garasi. Nyonya ingin ke suatu tempat?"
"Mm.. Nanti kalo jadi, saya kabari lagi. Makasih, Pak."
"Iya, Nya."
Mobil Daniel ada, tapi dia kemana? Apa dia di kamar tamu untuk tidur setelah kembali? Aku menatap tangga menuju lantai dua tapi mengurungkan niat mencarinya kesana.
Atau dia memang pergi tidak membawa mobil?
Aku kembali ke dapur mencari sesuatu yang bisa aku makan. Perutku sudah sangat lapar, aku merasa tanganku mulai gemetar.
Aku ingin memakan sate Madura yang ada di depan rumah Mama.
Dengan cepat aku meninggalkan dapur, kembali masuk ke kamar dan keluar setelah mengambil dompet dan sweaterku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Danissa
RomanceGue Daniel Alfin Notonegoro. Gue punya segalanya. Semua cewek yang gue suka pasti suka juga sama gue kecuali satu orang, Annissa Larasati Dunn! Daniel Alfin Notonegoro, aku sebenarnya takut sama dia, oke, aku hanya takut pada matanya, mata yang bahk...