"Bau apa ini?"
Aku membuka mata dan mendapati ruangan berdinding putih dan hitam. Bedcover hitam, selimut putih. Ada sofabed hitam di dekat jendela kaca besar yang tertutup horden hitam polos. Nakas putih dengan lampu tidur di atasnya. Ada satu pintu besar di sebelah kanan dan pintu yang lebih kecil di sebelah kiri.
"Dimana ini?" gumamku ketika selesai meneliti seluruh ruangan.
Aku bangkit duduk dan seketika kepalaku sakit. Bau tak sedap membuatku ingin muntah dan aku sadar ternyata bau tak sedap itu berasal dari tubuhku.
Bekas muntahan masih membekas di baju yang membuat aku marah sama Daniel semalam.
"Tapi ini dimana? Gak mungkin hotel kan?" Kulirik jam tanganku, pukul tujuh lewat dua puluh.
Dengan cepat aku bangkit dari kasur dan menuju ke pintu yang lebih kecil karena perutku mual dan sepertinya akan mengeluarkan apapun dari perutku.
Ada lorong yang ternyata walkin closet. Aku berlari hingga ke sudut dan mendapati sebuah pintu kaca menuju kamar mandi. Dengan cepat aku masuk dan muntah di closet.
Setelah lima belas menit, perutku belum juga membaik, kepalaku semakin sakit. Aku terduduk lemas memeluk closet.
"Kamu gak papa?"
Aku mengangkat kepalaku mendapati Daniel berdiri di dekatku. Wajahnya terlihat cemas. Dia memakai celana olah raga selutut, sepatu kets, rambutnya basah oleh keringat. Dadanya mengkilat sempurna.
Topless.
Aku mengerang dan menutup mata frustasi. Mengapa aku melihatnya seperti ini, pada saat yang tidak tepat. Jika aku melihatnya seperti ini pada saat normal, mungkin aku langsung ileran. Tapi melihatnya pada saat perutku mual dan serasa ingin mengeluarkan ususku serta kepalaku yang terasa seperti tertancap oleh ribuan paku membuatku ingin melempar wajah Daniel dengan botol shampo.
"Keluar!" bentakku.
Aku tidak ingin dia melihat dan mencium bau badanku yang lebih buruk daripada bau muntah kucing.
Wajahku kembali menghadap ke toilet karena perutku kembali bereaksi. Kurasakan jika Daniel mendekat dan menyatukan rambutku serta memegangnya agar tidak ikut masuk ke closet.
Telat!
Sebagian rambutku bahkan sudah basah.
Daniel mulai memijit tengkukku sedang aku berusaha agar apapun yang ada dalam perutku keluar. Aku mengeluarkan suara-suara menjijikan ketika memaksakan diri untuk muntah. Mataku berair, kepalaku semakin sakit.
Aku menangis sejadinya tanpa suara karena aku hanya berhasil mengeluarkan sedikit cairan yang terasa pahit dan salivaku yang mulai ikut terasa pahit.
Aku terduduk lemas di ubin kamar mandi yang terasa dingin. Menyentakkan lenganku agar Daniel tidak lagi menyentuhku. Dan ya, tangan Daniel menjauh dariku.
"Daniel, please keluar."
suaraku sangat lemah bahkan untuk di telingaku sendiri. Mataku penuh dengan cairan yang tanpa henti mengalir.
Daniel berdiri dan mengisi bathtube dibelakangku dan mulai dengan apapun kegiatannya. Aku gak tahu. Kembali perutku bergejolak dan aku sekali lagi menghadap ke closet. Daniel dengan cepat mendekat dan sekali lagi mengumpulkan rambutku dan memijit tengkukku.
"Mandi ya? Aku siapin bajumu. Berendam air anget aja dulu biar lebih enak," ucapnya setelah beberapa lama aku tidak terdengar ingin muntah lagi.
"Aku mandiin?" tanyanya menahan senyuman ketika aku tidak bereaksi atas ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Danissa
RomanceGue Daniel Alfin Notonegoro. Gue punya segalanya. Semua cewek yang gue suka pasti suka juga sama gue kecuali satu orang, Annissa Larasati Dunn! Daniel Alfin Notonegoro, aku sebenarnya takut sama dia, oke, aku hanya takut pada matanya, mata yang bahk...