64. Daniel ~ Happiest Man Alive (2) E N D

12.3K 475 34
                                    

Kontraksi ringan Nissa sudah di rasakannya sejak dua hari lalu. Hari ini, Nissa terlihat lebih kesakitan dari sebelumnya namun dia gak sepanik kemaren-kemaren.

Semalam, kami sempat menelpon Ibu Made dan dia menasehati kami tentang bagaimana menyambut bayi kami. Kami tidak boleh ketakutan, kami seharusnya menyambutnya dengan suka cita, dengan rasa bahagia dan cinta yang gue dan Nissa harus tunjukan dan ungkapkan.

Ketenangan Nissa menghadapi hari H yang entah kapan, membuat gue juga berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukan keresahan gue. Gue berusaha selalu membuat Nissa tertawa dengan jokes -gue yang garing -yang bikin tawanya lebih keras dari yang seharusnya. Nissa lalu bilang kalo jokes gue sama sekali gak lucu.

Gue gak peduli.

Beberapa saat lalu Nissa mengalami kontraksi hebat selama lebih dari sepuluh menit namun sekarang dia terlihat biasa saja. Kembali duduk di sofa dan menonton tv dengan santai.

"Hey, girls." sapa gue pada perut Nissa. Nissa duduk di sofa sedang gue duduk di depannya di karpet tebal yang mengalas lantai. Mama dan Ibu sedang masak makan siang demi menyambut Ibu Made dan assistennya yang sedang di jemput Pak Ridwan di bandara Abdurrahman Saleh.

"Daddy sudah gak sabar pengen ketemu." ucap gue sambil mencium perut Nissa yang ditutupi baju kaos karet.

Nissa mengangkat tangannya membelai rambut gue ketika sekali lagi gue mencium perutnya.

"Kalian gak pengen ketemu Daddy? Gak pengen liat wajah cantik Mama?" gue ngangkat kepala gue karena denger tawa Nissa.

Gue berpura-pura cemberut pada Nissa lalu kembali menatap perutnya,

"Kalian cepatlah keluar, lihat Mama. Katakan padanya kalo dia itu cantik. Mama gak pernah percaya sama Daddy!!" ujar gue membuat tawa Nissa semakin kencang.

"See?? Mama selalu menertawakan Daddy!" sambung gue.

"Mama percaya sama Daddy kok." Nissa membela diri, namun tawanya belum hilang.

Gue bangkit duduk di sampingnya lalu mengecup bahu Nissa berkali-kali.

"I love you. Makasih, Cha. Makasih sudah menjadikan aku seorang Daddy."

"Not yet, Daniel." Nissa melirik ke gue dengan senyum tipisnya.

"I love you." bisik gue lagi di telinga Nissa membuat wajahnya memerah.

Ya Tuhan, dia masih bisa merona.

"I want you." sambung gue lagi. "I need you, baby. My babygirl." wajah Nissa semakin merah dan gue semakin menikmati pemandangan di depan gue. Gue mengecup pipinya, telinganya, leher hingga bahunya, membuatnya semakin memerah dan mulai bergerak gelisah.

"Daniel ada Mama sama Ibu." bisiknya dengan suara serak sexy.

Oh God, maafkan hambaMu yang punya otak berkarat ini. Gue pengen Nissa.

"I love you." ucap gue gak peduli, mengubur wajah gue di rambutnya.

Nissa mengeram pelan, semakin lama semakin keras bikin gue ngangkat wajah gue demi menatapnya. Dia meringis kesakitan.

"Cha?" panggil gue.

"Daniel." panggilnya menatap gue.

"Bayiku. Bayiku." ujarnya panik.

Gue menarik nafas dan menghembuskannya.

Gue gak boleh ikut panik.

"Tenang sayang." ujar gue. Gue bangkit berdiri menghadapnya dan menatapnya.

DanissaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang