Jiyeon tak ingat sudah berapa lama ia pingsan. Yang ia ingat hanya ayahnya yang dengan kejamnya memperlakukannya dengan sangat kasar.
Jiyeon kembali terkaget. Ini sudah jam sembilan.
"Matilah. Aku ada janji dengan nona Oh itu. Astaga." Jiyeon segera berlari menuju kamar mandi. Tak mempedulikan rasa sakitan pada tubuhnya yang belum juga hilang.
"BUKA PINTUNYAAAAAA!" Teriak Jiyeon. Menggedor bahkan mendobrak pintu kokoh di depannya. Namun, sia-sia.
"SETIDAKNYA KEMBALIKAN PONSELKU!!!" Jiyeon kembali berteriak. Menendang pintu didepannya dan mengambil kursi pada meja riasnya, dan kalian tau? Melemparnya menuju pintu hingga remuk tak berbentuk.
"WOIIIIIIII! BUKA PINTU DAN KEMBALIKAN PONSELKU!!" Tak mau menyerah. Jiyeon terus saja berteriak, menendang, melempar dan mendobrak.
"Akh.. sakit." Rintih Jiyeon, memegangi gagang pintu dengan peluh yang sudah menetes di pelipisnya.
"B.. buka pintu." Rintih Jiyeon lagi. Suaranya makin mengecil, sakit di tubuhnya makin terasa, bagaikan terjerat rantai berduri dan meremukan tubuhnya. "Hiks.. sakit."
Ceklek.
Pintu terbuka, menampilkan beberapa sosok pelayan yang ia yakin sudah berdiri di depan kamarnya dari tadi, hanya saja mereka pura-pura tuli.
"Nona, anda baik-baik saja?" Tanya salah satu dari mereka. Menyentuh bahu Jiyeon dengan wajah khawatirmya.
"Sakit." Rintih Jiyeon lagi.
"Panggilkan dokter!" Perintah yang Jiyeon tunggu-tunggu dari tadi malam. Saat ia akan sekarat dan meregang nyawa.
Beberapa dari mereka membantu Jiyeon berdiri. Hendak membawanya ke ranjang, namun.. tiba-tiba.
Dug.
Bruk.
Akh.
"Aku tidak selemah itu!" Desis Jiyeon. Segera keluar dari kamarnya dan melihat sekitar. Sunyi. "Bagus."
"Nona. Tuan besar akan sangat marah, kembalilah nona." Panggil pelayan yang baru saja datang dengan dokter pribadi keluarganya.
"Aku tak peduli. Silahkan jika dia mau marah." Teriak Jiyeon. Berlari sekuat tenaga melewati gerbang rumahnya yang akan tertutup otomatis.
"PARK JIYEON! KEMBALI KERUMAH SEKARANG!" Teriak ayahnya, entah dari mana pria tua itu muncul. Yang jelas dia terlihat sangat marah sekarang.
Jiyeon sempat kaget, berubah pucat pasi tiba-tiba lalu entah kekuatan dari mana, ia refleks berlari. Ia harus bertemu para sahabatnya sekarang juga.
Jiyeon tau kesempatannya untuk bisa lari dari kejaran ayahnya sangat kecil. Tapi entah kenapa, ia tak mau menyerah sedikit pun. Setidaknya dia telah berusaha.
"PARK JIYEON! BERHENTI!" Lagi, ayahnya kembali berteriak marah, mengenderai mobil lebih cepat lagi untuk bisa mengejar putrinya.
**
"Jiyeon mana?" Tanya Suzy khawatir. Mereka sudah menunggu selama setengah jam. Tapi tak ada tanda-tanda bocah itu akan datang.
"Dia pasti datangkan?" Tanya Suzy lagi. Kali ini dengan menggenggam erat tangan Sehun yang hanya bisa mengusap bahunya pelan.
"Ponselnya tidak aktif." Ulang Chanyeol. "Aku sudah menghubunginya atau lebih tepatnya mencoba menghubunginya sebanyak seratus sembilan puluh empat. Bayangkan! 194 kali!" Dengus Chanyeol. Membanting ponselnya ke meja lalu meniup helai rambutnya yang jatuh menutupi dahinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Teacher My Husband : My [CEO] Husband
FanfictionKelanjutan dari kisah hidup Nyonya Oh yang terhormat, Oh Suzy. Sequel dari My Teacher My Husband. . . "Harvard? Oxford? Atau tetap di korea?" -Sehun. "Tetap korea." -Suzy. "Kenapa?" -Sehun. "Kau bisa saja mencari istri baru kalau begitu."