Malam hari menjelang. Brian dan Theresa sudah mendapatkan terapi obat oral dan juga obat lewat selang infus. Setelah Andy pamit pulang tadi sore, Theresa memutuskan untuk tidak mengajak Brian berbicara. Dan meski Brian sudah mencoba mengangkat beberapa topik menarik, Theresa tetap tidak ingin menanggapinya.
"Theresa," panggil Brian, hati-hati. Dan, sang gadis masih asyik membaca sebuah majalah di atas pahanya, sama sekali enggan menatap Brian.
"Theresa, apa kau marah?"
Hening.
"Kau benar-benar marah padaku?"
Tidak ada jawaban.
Brian mengembuskan napas putus asa. "Baiklah, sepertinya kau memang sedang marah padaku," katanya sangat yakin. "Apa kau marah karena aku memberi tahu Andy tentang serangan yang kaurasakan tadi?"
Barulah, di saat Brian menanyakan hal itu, Theresa mengalihkan pandangan dari bahan bacaan majalahnya ke arah Brian seraya mengembuskan napas pelan.
Brian sadar, pertanyaannya tadi memang tepat sasaran, dan ia tidak bisa melakukan apa pun kecuali mengutarakan permintaan maaf kepada gadis itu.
"Aku minta maaf, oke? Aku sungguh tidak bermaksud apa-apa tentang hal itu. Aku hanya ingin Andy tahu..."
"Kau seharusnya tidak memberi tahu Andy, Brian," potong Theresa ketus. "Dia tidak perlu tahu, selama dia sendiri tidak melihatnya secara langsung."
Brian menatap Theresa lurus-lurus. "Tapi, kau tahu, Theresa? Andy melihatnya."
"Apa? Melihat apa? Aku yang terkena serangan itu?" Theresa menatapnya dengan alis yang nyaris bertautan.
Brian tidak yakin, apakah ia harus mengatakan hal ini atau tidak. Dan, mendadak saja kedua pipinya terasa panas tatkala ia mengingat kejadian di mana ia dan Theresa berbaring di atas ranjang yang sama. Namun tentunya, Brian tidak punya maksud lain, selain mencoba menenangkan gadis itu dari serangan yang menimpanya.
Brian berdeham canggung. "Bukan. Andy tidak tahu hal itu," katanya gugup. "Tapi... dia melihat... kau dan aku... ada di atas ranjangmu."
Butuh sekian detik lamanya bagi Theresa untuk mencerna ucapan Brian yang tidak ia mengerti. Beberapa detik berselang, akhirnya Theresa mulai mengerti apa maksud dari perkataan Brian.
Theresa pun kini mengingat sentuhan yang pertama kali Brian berikan padanya. Sentuhan di kepalanya, sentuhan di bahunya, embusan napasnya yang terasa hangat, serta perkataan menenangkannya yang sanggup menembus dan mulai menetralkan debaran jantungnya yang terlampau kencang, hingga Theresa bisa mendapatkan rasa kantuknya dengan cepat.
"He-hei, Theresa. Aku sungguh tidak tahu bagaimana isi dari pemikiranmu itu," kata Brian panik. "Biar kuberi tahu kau. Aku melakukannya bukan karena maksud yang aneh atau bertindak mesum. Tapi, aku hanya mencoba untuk... menenangkanmu. Karena kau sendiri tidak ingin aku melaporkan keadaanmu tadi pada perawat atau pun dokter..."
"Ya... aku paham," sela Theresa cepat, kemudian ia berpura-pura menguap kecil "Aku mengantuk, Brian," katanya canggung, dan pipinya terasa panas. "Selamat malam." Theresa menyimpan majalahnya di atas nakas, lalu merebahkan diri dan menarik selimut hingga sebatas dada. Ia pun memejamkan matanya rapat-rapat sementara bibir bawahnya ia gigiti cukup keras.
Dan kini, jantungnya yang malang harus kembali merasakan debaran tak terdefinisikan itu.
"Theresa?"
Theresa mendengar Brian memanggilnya, tetapi ia memilih diam.
"Maafkan aku kalau tindakanku tadi... membuatmu merasa tidak nyaman atau..." Theresa tak lagi mendengar kelanjutan kalimat Brian.
"Oh, baiklah. Selamat malam, Theresa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay with Me ✔
Short Story#54 in Short Story (11-11-17) Brian Rowen terpaksa dibawa ke rumah sakit akibat patah tulang yang dialaminya. Kaki kanannya patah karena sebuah kecurangan yang dilakukan oleh lawannya dalam kompetisi sepak bola di sekolah, dan ia terpaksa harus menj...