Our Another Disaster *47

18.6K 2.2K 175
                                    

"Ini lebih mirip kamar operasi pasien," gumamku melihat sekitar. Lelaki itu masuk ke sana dan menekan sebuah tombol kuning kecil di dekat saklar. Aku mengangkat alis kagum begitu melihat lantai terbuka dan terdapat ranjang pasien yang keluar perlahan dari sana, menimbulkan desingan halus.

"Oh, keren," ucapku berusaha berlagak layaknya orang biasanya yang tidak kenal teknologi seperti itu. Sebenarnya itu hampir mirip dengan lantai-lantai Ruang Perkumpulan di markas yang biasanya untuk mengurangi atau menambah jumlah tribun tempat duduk.

Markas....

"Uh, ini sudah jam berapa?" tanyaku begitu ia masih tampak sibuk berkeliling dan mengecek sana-sini, menyalakan lalu mematikan sesuatu.

"Jam tiga sore. Kenapa?"

Sial, 'aku' akan mati sebentar lagi. Aku cemas memikirkan tanggapan markas soal ini.

"Aku menunggu jam makan malam. Karena kebosanan, aku jadi merasa lapar," jawabku. Lelaki itu melepas jaket dan menaruh ponselnya di nakas sebelah ranjang pasien di sana. Aku menipiskan bibir.

Kesempatan.

"Badan kurus begitu saja banyak makan," cibirnya membuat sambungan listrik yang baru saja tercipta di otakku langsung putus mendadak. Banyak makan dia bilang. Ingin sekali kulempari dengan sendok di tanganku. Aku menoleh ke tengah ruangan yang terdapat pilar dengan empat layar monitor lebar di setiap sisinya, segera kudekati.

"Ini monitornya untuk apa? Teknologi kalian sejauh ini tidak secanggih dunia luar," gumamku sok polos sambil menyentuh-nyentuh pinggiran monitor yang tipis.

"Dasar kampungan." Tahan Vale.... "Monitornya tentu saja untuk mengamati reaksi tubuhmu nanti. Mungkin mereka memindahkanmu ke sini untuk jadi kelinci percobaan."

Tubuhku langsung merinding mendengarnya. Oh, astaga. Aku tidak mau disuntik sana-sini dan dipasangi macam-macam.

Pandanganku melotot terkejut padanya. "Kelinci percobaan? Maksudmu, aku bisa saja mati?!" tanyaku nyaris histeris. Lelaki itu bergeming menatapku lama, ekspresinya aneh.

"Kau takut?" Aku agak terkejut dengan pertanyaannya. Bukankah semua orang sudah pasti takut mati? Atau hanya beberapa yang memikirkan itu?

"Memangnya kau tidak?" tanyaku balik. Aku mengalihkan wajah dan mengusap sudut-sudut mataku sambil menggerutu dalam hati. Kurasa suhu pendingin ruangannya terlalu rendah sampai-sampai mataku kering! Mataku pasti memerah.

"Aku belum merasakannya, jadi aku tidak tahu," gumamnya membuatku menghentikan aktivitasku dan menoleh padanya.

Tanganku meremas sendok di tanganku melihat air mukanya yang perlahan berubah. "Kau tidak khawatir? Seumur hidup hanya dihabiskan untuk membunuh orang-orang, berada di organisasi seperti ini, bersembunyi dari dunia luar setiap waktu?"

Tatapannya berubah, dia menatapku dingin. "Kau berusaha memprovokasiku?"

"Tidak," jawabku serius dan jujur. "Aku serius. Tidakkah kau takut jika tidak bisa mencapai sesuatu yang kau inginkan selama hidupmu dan terlanjur mati duluan?" 

Ia berkedip cepat sambil menautkan alis, seperti tergelak kecil. "Aku tidak akan mungkin mau bergabung kemari begitu saja, meninggalkan keluargaku, dan hal-hal menyenangkan di dunia luar. Hanya di tempat ini orang-orang bisa menerima nafsu membunuhku. Walau aku sendiri baru menyadarinya tidak lama sebelum masuk ke sini."

Aku tersenyum kecut dan berjalan pelan mengelilingi pilar, memperhatikan empat monitor lebar dan tipis di sini. "Keinginanmu selama ini hanya untuk mengakhiri hidup orang lain?" Dia tidak menjawab, dan aku segera duduk di ranjang pasien sana, menatapnya datar.

Little AgentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang