Grief *18

29K 3.4K 150
                                    

Aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Dadaku sesak, hawa di sekitarku terasa panas. Tangisku semakin menjadi-jadi mengingat kenyataan pahit ini. Ini tidak mungkin.

Ini tidak nyata.

Aku memukul-mukul dadaku sambil terisak. Sungguh ini tidak adil. Itu terakhir kalinya. Aku tidak menyangka ini akan menjadi terakhir kalinya. Aku sama sekali belum sempat menyampaikan kabar menyedihkan tentang gagalnya misi pertamaku padanya dan tiba-tiba saja ini semua terjadi.

Tolong mundurkan waktu

Hanya sebentar,

Ada yang ingin aku sampaikan padanya...

Aku mohon, seseorang-

Aku kembali menjerit keras. Sungguh waktu tidak adil!

Flashback On

Aku turun dan segera berlari memasuki komplek perumahan yang telah kutinggali sejak lahir. Jantungku berdebar kencang, intuisiku terus merasukiku akan pemikiran-pemikiran negatif tentang pemandangan apa yang akan kusaksikan sebentar lagi.

Aku mendorong pagar rumah. Terkunci? Pagarnya sama sekali tidak bergerak saat kudorong.

Aku mulai berseru memanggil ayah dan ibu dari luar sambil menekan tombol bel berulang kali. Tidak ada jawaban, hanya hening yang panjang. Udara di sekitarku mulai terasa dingin, rintik-rintik hujan turun tanpa kuduga. Padahal saat aku cek prakiraan cuaca tadi menunjukkan hari ini cerah berawan.

Aku lalu menggedor-gedor besi pagar yang rata dan dingin sambil memanggil ibu dan ayah kembali. Lagi-lagi tidak ada yang menjawab. Mungkin mereka tidak mendengarku.

Dengan nekat, kuputuskan untuk memanjat pagar rumah dengan susah payah. Aku menggigil begitu angin dingin berhembus dan berkolaborasi bersama hujan. Tanganku mencari-cari celah yang bisa ku pegang dan kakiku mencari tempat yang bisa kupijaki.

Tangan dan kakiku mulai bergerak terus keatas, merayap. Saat sampai di besi teratas yang tajam, aku dengan hati-hati melangkahinya dengan pelan. Agak sulit, ini membuatku bisa tertusuk dan sulit untuk menuruni pagar kembali. Aku menunduk melihat ke bawah.

Tingginya hanya sekitar... Empat setengah meter. Aku tinggal loncat saja kalau begini. Di antara celah-celah besi tajam itu, tanganku mulai berpegangan erat sementara kakiku mulai berusaha naik ke balik pagar dengan hati-hati.

Tanganku mulai kulepaskan dan aku mendarat di bawah dengan lutut yang agak nyeri. Aku bangkit dan segera masuk dengan membuka pintu dengan password.

'PIP'

Layarnya berwarna hijau dengan tulisan 'un-locked' membuatku segera mendorong pintu dengan perasaan tidak enak.

"Ayah?! Ibu?!" seruku sambil melihat kesana kemari. Aku menahan napas sambil melebarkan bola mata saat melihat keadaan rumah yang mirip kapal pecah. Ada apa ini?

Biasanya saat jam begini ibu ada di dapur. Dengan tergesa-gesa, kakiku mulai berlari ke dapur. Dapur terlihat tidak normal. Sangat berantakan dan tidak ada siapapun. Aku mulai mengecek kamar orang tuaku dan seluruh bagian rumah. Tidak ada siapapun.

Ponselku bergetar. Aku mengecek dan mendapat pesan masuk dari ayah.

Ayah ada di rumah sakit di dekat perbatasan komplek.

Aku tidak bisa berkata apa-apa saat membacanya. Belum sempat memikirkan pesan ayah, pesan lainnya kembali muncul.

Ayah harap kau mau kemari walau hanya sebentar.

Little AgentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang