Bab 61. Lebih Jauh

126K 12.6K 1.7K
                                    

Sebelum lanjut, yuhu... absen dulu,

Hadir dari kota mana aja?

Vote sebelum baca, koment setelah baca.

***

"Nyusahin ya! Banyak maunya"

Zen berhenti menangis. Dia menoleh ke samping dan melihat Lolita berdiri sembari menyedekapkan tangan di dada. Cewek angkuh itu menatap Zen malas. "Bang, kakak itu siapa? Kenapa kakak itu mirip hantu?" Katanya.

"Dia pacar abang." Jawab Kevin pelan.

Zen terkejut, memandang Kevin tidak percaya. "Pacar abang?" Kevin mengangguk. "Abang bilang pacar abang itu kak Citra. Kenapa sekarang jadi kakak jahat itu?" Tunjuknya.

"Pacar, eh?" Kevin terkekeh. Menundukkan badannya dan menghapus air mata Zen. Zen mengangguk membenarkan, dulu Kevin mengatakan padanya kalau Citra itu pacarnya. Citra nggak boleh pacaran sama cowok lain. "Abang nggak pernah jadi pacar kakak kamu."

"Bang Epin..."

"Sekarang tunggu kakak kamu. Jangan lari-lari." Kevin mengangkat kepala, melihat Citra mendorong motornya mendekat pada mereka.

"Bang Epin, Zen nggak mau." Zen menggeleng. "Zen mau sama abang." Tolaknya. Memeluk erat kaki Kevin sehingga cowok itu tidak bisa pergi.

"Zen..., ayo kita pergi."

Citra datang menghampiri, memegang tubuh Zen agar melepaskan Kevin. "Zen nggak mau." Zen menggeleng dan semakin mengeratkan dekapannya.

"Kita mau beli sepatu buat Zen. Nanti pasarnya tutup." Bujuk Citra pelan.

"Zen nggak mau kalau abang Epin nggak ikut. Zen mau sama bang Epin!" Raungnya.

Lolita memutar bola mata sedang menyaksikan pertunjukan konyol di depannya. Beberapa pasang mata secara terang-terangan menonton mereka. Namun tidak seorang pun yang mau ikut campur.

"Lo kasih duit, Vin. Pasti diem." Lolita mengompori.

Citra mencoba mengabaikan Lolita di sekitarnya. Cewek itu tidak mengerti dengan adiknya, susah sekali untuk memisahkannya dari Kevin. Kedua mata Citra berkaca-kaca, dia menunduk dan kembali membujuk Zen.

"Zen mau jajan? Abang kasih duit beli es krim ya." Kata Kevin merogoh kantongnya.

Zen menggeleng lagi. "Zen nggak mau duit. Nggak mau es krim. Zen mau bang Epin." Teriaknya.

Kevin berhenti, memegang tangan Zen agar melepaskan kakinya. Lolita berang, mengeluarkan uang senilai seratus ribu dari kantongnya dan memberikan pada Zen. Tapi Zen menolak, membuang asal uang kertas tersebut sehingga terombang-ambil oleh hembusan angin.

"Zen nggak mau duitnya!" Teriak Zen makin kencang.

"Abang mau anter Zen pulang?" Kevin menundukkan badannya. Citra diam di tempat, cairan bening di kedua irisnya siap meluruh.

"Nggak mau! Zen mau abang ikut ke pasar beli sepatu." Isaknya. "Zen mau bang Epin jangan pergi." Suara Zen makin melemah sembari menyeka air matanya. Helm kecil yang dipakainya sejak dari rumah masih menempel di kepalanya. "Abang jangan pergi." Ulangnya karena Kevin tetap diam.

Kevin tersenyum lembut. "Rumah abang bukan di sini. Abang harus pergi. Nanti kalau Zen udah besar, baru boleh ke tempat abang."

"Rumah abang dimana?" Tanya Zen polos.

"Jauuuuhhhhhh banget." Kata Kevin panjang.

"Jauhnya dimana? Terus kenapa abang bisa datang ke rumah Zen? Malam-malam juga abang datang." Katanya mengingatkan. "Kalau rumah abang jauh, seperti rumah nenek. Abang nyampenya lama."

EX [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang