Bab 3. Penguntit

361K 27.4K 177
                                    

Kevin berdecak. Memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana seragam sekolahnya. Ekor matanya tak henti-hentinya mengawasi cewek yang sedang berdiri di pintu gerbang sekolah. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang, tampak dari gelagatnya mencari-cari sesuatu melalui ekor matanya.

Dia Citra. Sekarang sedang tersenyum tipis pada seseorang yang menghampirinya. Keduanya tampak bercakap-cakap serta diselingi senyuman. Kevin makin panas, dia mendekat pada keduanya sehingga mendengar percakapan tersebut.

"Nggak apa-apa." Kata Citra pelan.

"Gue serius, Cit." Jason merasa bersalah. "Gara-gara gue juga elo pulang lama. Mungkin busnya datang sore banget. Elo pulangnya jadi telat. Ayo, gue anterin."

Citra kembali menzggeleng. "Terima kasih. Tapi maaf, aku pulang sendiri aja." Tolak Citra menolak halus.

Jason akhirnya mengangguk. "Oke, kalau begitu. Gue nggak jadi anterin lo pulang. Tapi jangan kapok ngajarin gue atau pinjemin buku elo ya." Pintanya. Citra mengangguk kembali. Jason merasa tidak enak. Tapi Citra bersikukuh pulang sendiri. "Gue duluan ya, Cit."

"Iya, hati-hati ya."

Jason akhirnya pergi meninggalkan Citra. Cewek itu memeluk buku yang dipinjamkannya tadi kepala cowok tersebut. Dia menoleh, Kevin masih di sana menungguinya. Menyedekapkan tangan di dada dan memandang dingin padanya.

Citra tidak peduli. Mengabaikan keberadaan Kevin di sana. Cewek itu melangkah menjauh, menyeberangi trotor jalan menuju halte bus. Kevin masih memandangnya, Citra merasa gelisah, tetapi sebisa mungkin menjaga panjangannya agar tidak menoleh.

Setengah jam menunggu, akhirnya Citra menghela nafas lega. Bus yang ditunggu-tunggunya sudah datang. Dia buru-buru masuk meskipun berdesak-desakan dan tidak mendapat tempat duduk, sehingga berdiri bersama penumpang lain.

Sekali lagi Citra menoleh ke belakang. Sialnya Kevin masih setia menunggu seperti patung di sana. Tak bergerak sedikit pun sejak tadi. Citra merasa tidak tenang jika diperhatikan begitu intens oleh seseorang, terutama orang itu adalah Kevin.

Tetapi dia sudah pergi dari sana, tidak lagi memikirkan Kevin. Biarkan saja dia tetap menunggu di sana. Tidak ada yang merugi jika dia seperti itu.

Hampir empat puluh lima menit perjalanan. Citra tiba di halte dekat rumahnya. Dia terlebih dahulu berjalan sekitar seratus meter dari jalan raya. Rumah Citra masuk ke pedalaman, melalui gang sempit yang hanya bisa dilalui motor.

Meskipun menuntut ilmu di sekolah bergengsi, bukan berarti kehidupan Citra berkecukupan seperti teman-temannya yang lain. Terlihat dari keseharian saja sudah berbeda jauh. Citra hanya mengendarai motor butut milik almarhum ayahnya. Motor yang sudah berumur uzur itu sering kali mogok sehingga Citra memendamkannya di bengkel dan meralih menggunakan transportasi umum kemana pun dia pergi.

Seperti sekarang ini, sudah dua hari motornya di bengkel. Harus ganti ini itu, yang tentu saja Citra tidak sanggup menebus secara langsung. Terlebih dahulu menguras tabungannya untuk mencicil.

"Kakak..."

Citra menoleh. Adiknya menyambut hangat dengan senyum lebar.

"Zen, sudah pulang dek?" Tanya Citra balas senyum.

"Sudah, kak. Barusan di anter mang Asep." Jawabnya berbinar. "Kakak, motornya sudah bisa?" Tanyanya tiba-tiba.

Citra menggeleng sedih. "Belum, dek."

"Yah...," Zen ikut sedih.

"Zen, mau kemana emang?" Citra menyelarahkan tingginya dengan adiknya yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Menekuk kedua kakinya dan mengacak rambut adiknya.

"Kata Bunga, ada pasar malam dekat rumahnya." Zen berbinar. Citra makin sedih, biasanya dia dan adiknya pergi bersama dengan motor butut ayahnya. Anak kecil itu begitu bahagia jika Citra membawanya berjalan-jalan meskipun di sekitar perkampungan.

Citra tersenyum. "Nanti kita ke sana." Zen berbinar. "Berapa lama pasar malamnya?"

"Hem..." Zen berguman, "Seminggu lagi, kak."

"Yasudah, kakak usahakan ya." Citra tersenyum tipis, mengacak rambut adiknya yang langsung berbinar bahagia. Dia melompat-lompat dan berteriak, Citra menggendongnya dan memasuki dapur. "Kamu sudah makan?"

"Belum, kak. Makanannya udah habis." Zen kembali cemberut.

"Yasudah, kakak masak telur ceplok dulu."

"Mau martabak telur, kak." Pinta Zen memeluk leher kakaknya.

Citra mengangguk. "Iya. Kakak ganti baju dulu ya." Citra meletakkan adiknya di atas meja. Lalu meninggalkannya ke kamar. Zen menunggu dengan setia hingga Citra keluar dari kamar dengan pakaian rumahan.


***


Jakarta, 14.05.18


Kevin kek patung. 

Sanksi, dia bernafas apa kaga ya?


wkwkkwkwkwkkw


Enaknya si BangKe di apain nih wkk


Vote dan koment ya gaesssssss...



EX [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang