Bab 89. Inez dan Surya

109K 10.6K 893
                                    


            "Budhe sangat senang mendengar kamu mendapatkan beasiswa lagi, Citra."

Zahra, budhe Citra dari keluarga mamanya tersenyum lebar memandang keponakannya. Mereka sekeluarga sedang makan siang di meja makan rumah sederhana tersebut.

Kevin dan Citra melanjutkan perjalanan mereka ke rumah budhe Citra yang tidak terlalu jauh dari kampung halamannya. Hanya beda kecamatan saja, sehingga untuk menempuhnya hanya membutuhkan hampir tiga jam saja.

"Terima kasih, budhe." Jawab Citra pelan.

Budhe Zahra tersenyum manis. "Budhe sangat berharap Inez seperti kamu." Katanya sembari melirik anak perempuannya yang sejak tadi makan begitu lahapnya. Citra tersenyum dan mengikuti arah pandang budhenya.

"Nggak mau, ma. Inez nggak pengen ninggalin mama dan papa di sini." Dengkusnya.

"Beasiswa nggak mesti ke luar negeri, Nez. Ke Jakarta kan bisa. Cari yang deket-deket aja. Biar nanti sering ketemu tante Clara dan Zen. Mama kangen banget sama Zen."

"Nnati, ma, di pirikin." Inez tampak malas.

"Anak ini!" Marzuki menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan anaknya yang sangat cuek.

Inez berpaut umur satu tahun. Sekarang dia duduk di kelas dua SMA. Kepribadian Citra dan Inez sangat berbeda jauh. Citra yang kalem dan lemah lembut berbanding terbalik dengan Inez yang blak-blakan dan tomboy.

Dari gaya pakaiannya saja berbeda jauh. Inez gemas mengenakan celana pendek dan kaos kedodoran. Kulitnya gelap seperti anak laki-laki. Menurut cerita Zahra, kulit Inez gosong main layangan di lapangan.

Tiap sore di omelin dulu baru pulang. Semua temannya anak laki-laki, tidak kenal umur, semua ditemani. Dari masih bocah gendeng hingga aki-aki, semua kenal dengan Inez.

Selagi teman-temannya ngomongi cinta-cintaan, Inez malah ngomongin hasil pancingannya di sungai atau layangan barunya yang lebih besar dari kemarin. Dia juga pandai memanjat, sering merusak tanaman yang belum matang.

Marzuki sangat geram dengan anak perempuannya tersebut. Sialnya, Inez tidak pernah kapok. Besok ngulang lagi. Bikin masalah lagi.

Begitu juga waktu dulu keluarga Citra pulang kampung ketika Zen masih berumur dua setengah tahun. Inez membawa balita itu keluar sepanjang hari. Main layangan dan main lumpur di sawah.

Banyak teman-temannya yang ikut. Waktu itu muka Zen sudah tidak beraturan lagi. Lumpur nempel di mana-mana. Bukannya ketakutan akan dimarahi, Inez malah semakin senang. Mengubur seluruh badan Zen kecuali kepala di sawah.

Untung saja Clara tidak seperti ibu tiri umumnya. Zahra yang cemas sudah tidak punya muka melihat Clara. Khawatir kalau selanjutnya mereka tidak mau pulang kampung lagi atau lebih parahnya memutuskan hubungan keluarga.

Tetapi perasaan was-was itu sirna melihat senyum Clara melebar. Dia menertawakan Zen yang malang. Lebih parahnya Zen seperti tidak terganggu dengan kelakuan kakak sepupunya tersebut.

Dia bercerita panjang lebar dengan suara cadelnya apa saja yang mereka lakukan di luar. Clara dan Zahra memandikan badan Zen, menggosok semua sela-sela agar lumpurnya hilang tanpa bekas.

"Kenapa Zen nggak dibaw, kak?" Inez menatap Citra dengan kerutan dahi.

"Zen masih sekolah." Jawab Citra pelan.

"Aih, nggak seru." Inez lesu. "Cuma Zen yang mau main sama aku." Gerutunya.

"Kamu sudah besar, jangan main-main lagi. Contoh kakakmu ini." Zahra melotot pada anak perempuannya.

EX [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang