Bab 9. Mainan Baru

226K 17.6K 388
                                    

"Tapi Zen mau sekarang, kak." Zen hampir menangis. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Kembali menatap mobilan di tangannya lalu beralih pada penjual, berharap lelaki tua itu memberinya satu jika kakaknya tidak sanggup membeli.

Citra mendengar harga mobil-mobilan itu dua kali lipat dari uang yang dimilikinya sekarang. Sedangkan awal bulan masih dua minggu lagi, cewek itu tidak memiliki uang sebanyak itu. Belum lagi cicilan motornya yang berada di bengkel, membuat Citra makin pusing.

Cewek itu tidak memikirkan uang jajan. Baginya, asalkan cukup untuk menebus motor di bengkel dan ongkos ke sekolah sudah lebih dari cukup. Dia jarang ke kantin. Selalu membawa air minum dan tidak jarang membawa bekal ke sekolah untuk di makan di perpustakaan ketika sedang istirahat.

Kadang hampir sebulan terlewati Citra tidak pernah ke kantin.

Bukan karena tidak mendapatkan uang jajan dari mamanya. Hanya saja biaya hidup mahal. Semua serba rupiah. Kebutuhan Citra untuk motor bututnya kadang lebih besar dari nominal yang diperoleh dari menjaga perpustakaan dan mamanya.

Beberapa orang mungkin bertanya, jika sudah butut dan sering rusak, kenapa masih digunakan?

Citra sangat menyayangi motor itu. Hanya itu kenang-kenangan dari ayahnya yang tersisa. Lagi pula, dia bisa mengajak Zen berkeliling di perkampungan, juga menjemputnya jika ada les tambahan.

Meskipun butut, cewek itu sangat membutuhkannya.

"Zen, ingat kan kata mama? Zen harus hemat biar ada jajan besok dan besoknya lagi?" Zen mengangguk. Ingat begitu jelas nasihat mamanya. "Nah, Zen nggak boleh boros ya." Zen tetap mengerucutkan bibir. "Zen mau jajan kan besok di sekolah?" Dia mengangguk. Citra tersenyum dna mengacak rambutnya. Meraih mobil-mobilan di tangan adiknya dan meletakkan kembali pada tempatnya. "Gantinya, kakak akan beliin kamu es krim."

"Es krim?" Zen membeo. Citra mengangguk sambil tersenyum, adiknya kembali ceria, lalu memeluk leher kakaknya. Citra terkekeh, lalu menggendong adik kesayangannya.

"Ini buat, Zen." Citra langsung terdiam. Kevin memberikan mainan itu pada Zen dari belakangnya. Zen meragu, menoleh pada kakaknya untuk meminta persetujuan. "Dari abang buat Zen." Lanjut Kevin menambahkan.

"Kita beli es krim, yuk." Citra mengabaikan Kevin.

Tetapi Zen tidak begitu tergoda lagi, lebih memilih mainan tersebut dibanding makanan yang ditawarkan oleh kakaknya.

"Kak?"

Citra menatap Kevin berani. Tetapi Kevin tetap menyodorkan pada adiknya. Zen meraih mainan tersebut dengan begitu sumringah sehingga Citra jadi bimbang. "Jangan. Nggak usah." Elaknya. Zen kembali bingung, senyumnya memudar dalam sekejap.

"Nggak apa-apa, Zen. Ambil ya." Kevin mengabaikan Citra. Zen turun dari gendongan Citra lalu tersenyum senang dan mengangguk sembari memeluk mainan barunya.

"Aku akan ganti semua." Kata Citra kemudian. "Aku pasti bayar."

Kevin berdecak. Mengabaikan Citra dan membawa Zen menjauh, meninggalkan Citra masih berdiri ditempatnya. Zen memanggilnya, barulah Citra mengikuti mereka dari belakang. Kevin menuruti keinginan Zen, membuat Citra makin berang. Dia mengajak Zen pulang, tapi godaan dari Kevin membuat adiknya di ambang kebimbangan dan lebih memilih Kevin pada ujungnya.

Zen bersorak gembira ketika mereka tiba di area sulap, langsung mengambil tempat paling depan. Menyelinap di antara penonton yang menjulang tinggi, karena hampir semua penonton menggendong anak masing-masing.

Citra sampai kewalahan mengejarnya. Meminta maaf pada pengunjung yang dilewatinya sesehingga grasak-grusuk dan decakan terdengar dari mereka. Citra menunduk, baru bisa bernafas lega ketika Zen di depannya.

EX [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang