Hari Sabtu berarti Jun dan Dinda bebas quality time sedangkan Johnny masih sibuk dengan urusan kantor. Karena kantor swasta, si sulung hanya kenal libur di hari Minggu dan menabung cuti agar bisa leha-leha sejenak di rumah.
Biasanya, Johnny akan berangkat jam 9 pagi karena kantor di hari Sabtu masuk jam 10, sambil bawa bekal es kopi susu di kedai kopi hits yang tak jauh dari rumah dan makan siang spesial masakan Dinda.
Selesai masak dan beres-beres rumah, Jun dan Dinda akan memilih movie marathon di rumah atau jalan-jalan ke mall. Kalau ke mall, itu berarti Jun harus siap diajakin adiknya ke salon dan belanja ini-itu. Sudah jadi kebiasaan entah sejak kapan tahu.
Tapi Sabtu kali ini beda. Ada penghuni tambahan yang menumpang bobo di rumah Prakasita karena rumahnya sepi nggak ada orang. Tak lain tak bukan adalah Jeffrian yang sudah ribut di kamar mandi, sedang ambil wudhu.
Baru juga mau menutup kran, manik matanya menangkap sosok Dinda yang berdiri tak jauh dari pintu kamar mandi dengan masih mengenakan piyama kedodoran warna merah muda bergambar little pony.
"Adinda mau wudhu?" tanya Jeff setelah beres menunaikan syarat salat nya.
Gadis itu mengerjap lucu sambil mengangguk. Sepertinya nyawanya belum sepenuhnya terkumpul.
"Ya udah gih! Abang tunggu di bawah ya!"
Lagi-lagi Dinda mengangguk tanpa ingin membalas omongan Jeff dan langsung masuk ke kamar mandi.
Selesai salat, Dinda cuma salim ke Jeff dan balik ke kamar. Kayanya mau lanjut tidur. Si imam berniat jalan-jalan ke komplek ruko depan perumahan yang jam segini banyak jualan makanan sarapan.
"Eh, mas? Mas Jeff?" tanya seorang pemuda bertubuh ramping sambil menunjuk ke arah Jeff yang baru saja datang.
"Waduh, masih inget aja mas! Apa kabar?" tanya Jeff balik. Yang barusan menyapa nya adalah anak penjual bubur ayam langganan mereka: Jeff dan geng Prakasita.
"Ya inget atuh mas! Mau beli bubur ayam atau yang lain?"
"Bubur ayam, deh. 4 porsi ya mas. Yang 3 campur, yang satu jangan pake kuah, kecap, sambel sama kacang." jelasnya.
"Ah, buat teh Dinda ya?"
Jeff mengangkat sebelah alisnya, "Eh iya?"
"Itu mas, yang paling terakhir kan racikan teh Dinda biasanya. Kayanya udah lama banget nggak lihat mas Jeff sama teh Dinda makan disini. Pada sibuk, ya?"
Jeff hanya tersenyum sambil mengangguk untuk menjawab pertanyaan barusan.
Iya juga. Biasanya selalu mereka berdua yang pergi kesini buat sarapan. Pesen bubur makan di tempat terus bawa pulang 2 porsi untuk Jun dan Johnny, 3 porsi kalau si Ayah Januar pulang.
Selama perjalanan pulang, Jeff dengan seksama meneliti sekitarnya. Sudah banyak yang berubah tapi rasanya tetap sama. Lapangan multifungsi yang ada di dekat gapura masih tetap sama dengan gawang tanpa jaring di kedua sisi. Biasanya Jun dan Jeff akan main bola disana sepulang sekolah sedangkan Dinda bertugas jadi penonton saja.
Pohon mangga yang ada di ujung belokan gang juga masih ada, tempat Jeff mengajari Dinda cara naik ke pohon meskipun pulang-pulang ada luka di lutut dan dagu karena jatuh waktu turun. Bekas luka nya kadang masih terlihat meski Dinda suka memberi concealer untuk menutupi bekasnya.
Taman bermain sedikit berubah. Dulu ada 2 perosotan, satu besar dan sisanya kecil. Ada 2 ayunan yang tersebar di tiap ujung, jungkat-jungkit di tengah-tengah taman dan monkey bar di dekat perosotan. Biasanya Dinda akan bolak-balik naik turun perosotan besar dan Jeff hanya bergelantung di monkey bar. Terus pulangnya beli es krim di salah satu warung yang ternyata sudah tutup. Bahkan pemilik rumahnya sudah ganti.
Jeff mulai menyadari waktu sudah memainkan peran nya; mengubah sesuatu dan membuat kita makin rindu akan momen tertentu. Mendadak Jeff kangen jalan kaki pulang sekolah bertiga dengan Jun dan Dinda, letak sekolah mereka tidak terlalu jauh dari sini.
Rindu saat ia punya lebih banyak waktu untuk menemani si bungsu mengerjakan tugas dan Jeff sekedar membantu saat gadis itu bingung membagi bilangan tertentu.
Kadang ia merasa bersalah karena mendadak jarang bertemu Dinda meski di akhir pekan. Bukannya apa-apa, Jeff seakan punya tanggung jawab tidak tertulis untuk menemani gadis itu.
Tidak ada lagi memanjat pohon mangga tetangga atau jadi pemandu sorak saat Jun dan Jeff main bola, Dinda juga perlahan mencari kesibukan saat sadar kalau semua sudah berubah. Mereka menjadi dewasa dengan caranya masing-masing.
Tinggal beberapa langkah menuju rumah, Jeff mendapati sosok Dinda dan Lucas di depan pagar rumah. Sepertinya pemuda itu membawa sesuatu untuk Dinda, gadis itu menenteng kantong belanja di tangan kiri nya.
Dinda bukan lagi gadis berponi depan dengan rambut kurang dari sebahu yang biasa mengikuti Jeff dan Jun kemana-mana. Bukan lagi si bungsu yang suka takut dengan si sulung. Bukan lagi Dinda yang suka mendengarkan permainan gitar Jeff saat ia mendapat chord lagu baru.
Si bungsu mulai beranjak dewasa dengan orang lain di sampingnya.
Jeff memilih menunggu sebentar sampai akhirnya Lucas berlalu dengan motor matic berwarna abu-abu dan Dinda kembali ke dalam rumah.
Konsep Dinda yang menuju dewasa dengan sosok asing dalam benak Jeff barusan langsung mengganggu konsentrasi nya. Ia bahkan hampir tersandung beton penyangga tiang bendera di depan rumah.
Ada rasa tidak rela yang pelan-pelan memenuhi seluruh sudut pikiran dan hatinya.
Sudah dibilang kan kalau ia tidak suka posisi nya terganti?
Tapi kali ini beda.
Apa hak nya untuk merasa tidak terima? Kakak kandung nya juga bukan. Kekasih nya juga tidak.
"Woy!"
Sebuah seruan lengkap dengan bantalan sofa yang menabrak kepalanya langsung menyadarkan Jeff kalau ia sudah berada di ruang tamu.
"Kesambet penunggu makam belakang ruko ya lo? Daritadi dipanggilin nggak nyaut! Malah kaya orang linglung!" gerutu Jun, mengambil alih bungkusan yang dibawa kawannya.
"Yang di staples punya Dinda." pesan Jeff sambil melangkah ke tangga.
"Lo mau kemana?" tanya Jun.
"Mandi, gerah. Mau ikut? Yuk!"
"Najis."
Jeff hanya tergelak mendengar jawaban Jun barusan.
Mungkin otaknya sedang bekerja dengan tidak baik karena tidur terlalu larut dan bangun terlalu pagi. Mungkin guyuran air dingin di kepalanya bisa mengembalikan kewarasan.
Karena barusan sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan muncul di benaknya,
Apakah ia sedang cemburu?