Tiga Puluh Satu

4.9K 800 26
                                    

"Adeeeek, ini kalo nggak cepet dikeringin masuk angin kamu nya!"

Ayah Januar yang baru beres cuci mobil langsung mengambil handuk yang dikalungkan di leher si bungsu dan mengusap rambut yang setengah kering itu.

Dinda asyik mengunyah semangkuk sereal sambil nonton drama Korea nya yang Ayah nggak tahu apa judulnya.

"Kemaren pulang jam berapa?" tanya Ayah.

"Hmmmm, lupa. Nggak tahu" jawab Dinda setengah menggumam.

Dahi pria umur 50-an itu mengernyit mendengar jawaban anaknya. Harusnya kalo pulang pensi sama gebetan tuh seneng kan, ya?

"Ada yang mau diceritain ke Ayah nggak nih?" tanya Ayah sambil terus mengusap rambut anaknya.

Dinda menggeleng kecil sambil tetap mengunyah makanan nya tapi di dalam hati udah pengen banget curhat ke Ayah.

Masalahnya, ini menyangkut salah satu orang yang Ayah percaya dari dulu. Jeffrian yang selalu baik ke Ayah dan semua anggota Prakasita. Bisa runyam nanti kalo Dinda cerita sejelas-jelasnya.

"Ya udah kalo nggak mau cerita. Buruan siap-siap! Abang ngajak belanja"

"Hmmm Yah.." Dinda menggapai lengan ayahnya yang sudah setengah beranjak dari duduknya.

"Iya, kenapa?"

"Duduk bentar, dong. Adek mau cerita" kata gadis itu akhirnya.

Sebuah senyum tipis terukir di bibir Ayah Januar dan dengan senang hati duduk di sebelah si bungsu.

"Bentar adek kelarin dulu makan nya"

Ayah Januar cuma mengangguk dan mengamati perempuan satu-satunya di rumah Prakasita itu.

Disela menghabiskan makanan, Dinda sesekali menengok ke ponsel dan langsung menaruh nya di sofa dengan setengah membanting.

"Udah selesai?" tanya Ayah begitu Dinda beres mencuci peralatan makannya.

Gadis itu kembali melirik ponsel dan hanya menghembuskan napas keras-keras begitu yang ia harapkan tidak sesuai dengan kenyataan.

"Adek nggak tau kudu cerita dari mana Yah...." gumam si bungsu sambil memainkan ujung bantalan sofa.

Sang ayah hanya tertawa kecil sambil menepuk punggung tangan Dinda yang bebas dengan berulang.

"Apa yang adek rasain sekarang?"

"Hmmm takut, sedih, kesel, capek, pengen kwetiau langganan Ayah..."

Keduanya tertawa pada akhir kalimat Dinda. Tapi serius selain galau, dia juga lagi pengen banget kwetiau yang biasa Ayah nya beli.

"Kwetiau nya nanti siang ya sekalian makan sama abang. Memang adek takut kenapa? Bikin salah ya? Sama siapa? Ayah atau abang?"

Dinda menggigit bibirnya, "Bukan soal Ayah atau abang. Soal orang lain... Tapi jangan marah ya Yah plissss!!!"

"Loh kalo bukan soal Ayah ya kenapa harus marah? Bukan soal abang juga kan? Terus siapa kalo Ayah boleh tau, hm?"

"Nggak mau sebut nama akuuuu, pokoknya mereka sama-sama penting buat Dinda. Tapi kayanya ada yang aku gantungin perasaan nya Yah. Dinda takut mereka pergi"

"Mereka? Berarti 2 atau lebih, ya? Kenapa adek gantungin perasaan mereka? Kan nggak enak tau nggak ada kepastian"

Muka Dinda makin kusut denger Ayahnya ngomong barusan. Makin merasa bersalah.

"Makanya itu Ayaah, adek tuh bingung!"

"Oke oke, jelasin pelan-pelan. Ayah nggak akan interupsi."

Bang JeffTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang