"Siang, mas. Ini benar rumah Mbak Adinda?"
Andaru yang lagi isi air aki mobil nya mendongak, "Bener, pak. Kenapa ya?" tanya nya.
"Oh ini mas, ada pesanan makanan buat Mbak Adinda"
Kurir berjaket hitam hijau itu menyodorkan kantong plastik berisi makanan melewati pagar.
"Hmmm dari siapa ya, pak? Soalnya kita nggak ada yang pesen makanan"
"Dari..."
Bapak berusia 40an itu mengeluarkan ponsel nya lalu kembali melihat Andaru, "Nama pengirim nya Jeffrian, mas." jawab bapak itu.
"Oooh dari Jeffrian. Oke. Saya terima ya, pak. Udah dibayar belum?"
"Sudah mas, sudah. Kalau begitu saya permisi dulu. Mari!"
Andaru menaruh makanan tersebut di atas meja teras dan menyelesaikan kegiatan nya sebelum masuk ke dalam rumah.
"Teeeeh ada yang anter makanan neh!!!" seru pemuda itu.
"Bentaaaarrr!!!" sahut Dinda yang sepertinya lagi di kamar mandi.
Baru juga Andaru mau comot salah satu makanan tapi tangannya buru-buru ditepis kakak sepupu nya.
"Belum cuci tangan lo! Dari siapa ini?"
"Bang Jeff. Buka gih, gua laper" kata Andaru sambil jalan ke wastafel.
"Eh sekalian ambilin hp gua di kamar dong!" seru Dinda yang hanya dijawab gumaman tak jelas oleh sepupu nya.
Mumpung jalan ke lantai dua, Andaru akhirnya ambil handuk sama kaos ganti buat mandi di kamar mandi bawah karena kran air di atas rada mampet.
"Teeeeh, mana sih hp lo?! Gua sampe cari ke kolong kasur tau!" teriak Andaru.
Entah Dinda lagi khusyuk makan apa gimana tapi pertanyaan Andaru sama sekali nggak dapat jawaban sampai akhirnya ia menemukan hp Dinda di atas nakas, bersebelahan dengan laptop yang menyala.
"Buset dah masih aja ngebucin oppa oppa. Padahal ganteng juga gua" gumam Andaru sambil berlalu.
"Teh, gua tau kalo makanan itu enak tap- LOH TEH?! TETEH!!!!!!!"
Omelan Andaru terhenti saat melihat Dinda tidak sadarkan diri di sebelah meja makan dengan tubuh membiru. Belum lagi beberapa bagian tubuhnya yang membengkak.
"TEH! YA ALLAH KENAPA SIH LO?!"
Pemuda berkulit tan itu buru-buru menggendong Dinda ke sofa dan menyambar telepon rumah untuk telepon ambulans.
"Halah anjir! Lama banget sih!"
Merasa menelepon ambulance sama sekali tidak membantu, Andaru kembali menggendong Dinda ke dalam mobil nya dan membuka pintu pagar lebar-lebar buat jalan dia keluar.
"Teh, tunggu ya teh. Plis plis plis jangan pergi" lirih Andaru. "PAK! TITIP RUMAH PAK JANUAR YA! MO KE RUMAH SAKIT!" teriak nya sewaktu lewat pos security.
Beneran brutal dia nyetir, udah nggak peduli mau lampu merah kek lampu hijau kek, semua diterabas terus sama Andaru.
Di sela-sela nyetir, dia sempetin telepon Johnny dan Ayah Prakasita buat nyusulin ke rumah sakit terdekat.
Masuk ke pelataran UGD, Andaru menarik salah satu brankar yang kosong sambil memanggil petugas yang ada buat bantu dia bawa Dinda ke dalem.
"Teh kudu kuat ya teh plis" bisik Andaru yang udah setengah nangis.
Karena sewaktu dia pegang lengan Dinda, nggak ada detak nadi sama sekali disana.