Empat Puluh Empat

4.1K 670 17
                                    

Jingga punya segalanya. Tiap hal kecil yang diinginkan manusia, terlebih kaum hawa;

She's smart, pretty, that body goals they wished to have about, popular, and a boyfriend who every girl fall for.

Ayah nya seorang pengusaha terkemuka yang masuk dalam jajaran 100 Pebisnis Berpengaruh dalam majalah Forbes Indonesia, Ibu nya mantan model internasional yang mengharumkan nama bangsa. Maka tak heran banyak yang menginginkan kehidupan seperti Jingga: cantik, terkenal, dan kaya.

Kecantikan Jingga dipuja para pria di universitas nya. Kemana pun dia berjalan, pandangan memuja itu akan selalu ada. Bisikan iri dengki para perempuan bukan masalah baginya selama ia tetap menjadi every man girl crush di kampus.

Ketika akhirnya Jeffrian menyatakan perasaan beberapa waktu lalu seolah melengkapi sempurna nya hidup Jingga. Sudah rahasia umum kalau Jeff termasuk dalam jajaran pemuda tampan di kampus yang disukai semua mahasiswi. Fans nya dimana-mana, bahkan senior dan dosen muda pun bisa langsung suka dengan Jeff setelah melihat sepasang lesung pipi yang muncul tiap kali pemuda itu tersenyum dan bicara.

Jeff memberi apa yang diidam-idamkan para wanita dari pasangan nya, buket bunga mawar di tiap minggu, fancy dining dengan pemandangan kota Surabaya di malam hari, sepasang anting warna perak dengan bandul warna merah yang entah berapa harganya, dan masih banyak lagi yang Jingga dapat dari pemuda itu.

Tapi sekarang Jingga akhirnya sadar akan satu keabsenan yang selalu ia rasa selama menjadi kekasih seorang Jeffrian. Hal ganjil yang menurutnya sangat penting, tapi saat ditelaah lagi, Jingga nggak pernah dapat jawaban yang memuaskan. Semua tampak sempurna untuk nya dan untuk mereka.

Meriahnya jalanan Surabaya di kala malam sangat kontras dengan keadaan di dalam sedan hitam milik Jeffrian. Mobil itu membaur bersama kendaraan lain tapi memiliki dunia nya sendiri di dalam sana.

"Apa yang Adinda bilang ke kamu tempo hari itu semuanya bener, Jingga." kata Jeff.

Di dalam kepala pemuda itu seolah terputar momen dimana Aldo akhirnya cerita semua keluh kesah si bungsu selama ini terhadapnya. Dari awal hingga akhir. Hal yang selalu Jeff coba hindari selama ini. Hingga cerita itu terhenti pada nama kekasihnya saat ini dan bagaimana seorang Jingga membuat dirinya rendah karena menggertak Dinda yang sama sekali nggak salah apa-apa.

"Sejauh apapun jarak yang aku ciptain antara aku dan Adinda, seberapa lama aku pergi, dengan siapapun aku lari, nanti tujuan akhir aku tetep ke Dinda. Selalu begitu."

Dari ekor mata Jingga, ia bisa melihat pemuda di sebelah nya tersenyum kecil. Senyum paling tulus yang pernah ia lihat dari pacarnya.

"Dulu waktu kecil, Dinda satu-satunya yang dengerin curhatan aku soal Papa Mama yang selalu berantem tiap malem. Dinda yang jadi tempat aku nangis semalaman waktu tahu mereka mau cerai. Dinda jadi orang pertama yang aku peluk waktu akhirnya orang tuaku rujuk. Dinda yang selalu siapin kue cokelat pakai lilin kecil diatasnya tiap aku ulang tahun dan dia selalu ucapin tepat jam 12 malem sambil ngantuk-ngantuk...."

Jeff menghela napas sejenak, memori masa kecil dengan Dinda begitu menyenangkan. Tapi justru dia sendiri yang merusak nya.

"lalu masuk kuliah, aku mulai jauh dari dia karena pemikiran dangkal kalau Dinda bukan lagi teman. Dia cuma adik kecil dari temanku yang lain, bagian masa kecil yang harusnya tetep jadi kenangan. Tapi anehnya, meskipun aku jahat ke Dinda, jauhin dia, bersikap dingin ke dia, Dinda tetep sehangat dulu. Masih jadi yang peluk aku tiap aku sedih. Yang bilang semua bakal baik-baik aja waktu aku jatuh. Dan akhirnya aku sadar, memang dia rumah yang selama ini nunggu aku buat pulang. Benar-benar pulang, tanpa mengharapkan apapun. Dia cuma mau aku pulang dengan utuh, lengkap dan selamat. Se sederhana itu."

Bang JeffTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang