Jeff menyesap kopi nya tak sabaran sedangkan gadis di sampingnya begitu santai memberi warna merah pada rambut Princess Ariel dengan carrot cake dan milkshake vanilla di depannya.
"Ini beneran nggak sih? Apa jangan-jangan dia bohong lagi?" tanya Jeff. Bibirnya mengerucut pertanda kesal.
"Ssstttt diem deh diem. Nggak capek apa ngomel daritadi?!"
"Ya tapi Ndaaaaa, udah telat satu jam loh ini! Kamu aja sampe mewarnai 2 lembar"
Dinda menyumpal mulut Jeff dengan potongan cake nya, "Orang sabar disayang Tuhan. Jadi sabar yaa"
"Nggak mau ah"
"Terus maunya apa?"
"Maunya disayang Dinda"
Si bungsu memutar matanya malas, "Geli denger nya" balas nya sengit.
Tak berapa lama, denting pintu masuk berbunyi tanda tamu baru telah datang.
Dinda dengan cepat melambaikan tangannya kepada si tamu sedangkan Jeff berdehem tidak nyaman di sampingnya. Mendadak ada rasa kesal dan takut datang bersamaan.
"Hai... Maaf ya lama..."
"Nggak kok, nggak apa-apa. Duduk yuk duduk! Mau pesen apa?"
"Hmmm nggak usah, Nda..."
Dinda mendecak kesal, "Harus pesen. At least minum deh. Mau minum apa?"
"Earl grey ice tea aja deh"
"Oke, tunggu bentar ya!"
Jeff mendadak kaku saat ditinggal pacarnya begitu saja ke meja kasir. Meski jaraknya nggak terlalu jauh, tetap saja ia merasa canggung ditinggal berdua dengan Gian.
Gadis dengan sweater kuning pupus itu hanya sanggup menundukkan kepala, tidak ada keberanian untuk menatap pemuda di depannya.
"Gi, lo cutting lagi?"
Pertanyaan mendadak Jeffrian membuat Gian hampir terlonjak di tempatnya.
"Gian? Lo denger kan?" tanya Jeff lagi. Ia cukup kaget melihat luka yang belum terlalu kering di pergelangan tangan gadis itu.
Pertanyaan Jeff justru membuat gemetar Gian makin hebat, bahkan gadis itu berusaha menahan isak nya keras-keras. Beruntung Dinda cepat datang dan seolah membaca keadaan, si bungsu memilih duduk di samping Gian. Berusaha menenangkan.
"Gi? Are you okay?" tanya Dinda.
Gian hanya menggeleng sambil terus menangis. Baik Dinda dan Jeff hanya bisa memandang satu sama lain dalam diam. Mereka memberi waktu untuk Gian agar lebih tenang.
"Minum dulu, ya?" tawar Dinda saat pesanan Gian diantarkan.
Selang beberapa menit, kondisi Gian jauh lebih stabil. Gadis itu tidak lagi menangis, hanya saja tetap tidak mau memandang lurus ke arah Jeffrian.
"Aku mau pamit..." kata Gian pelan.
Jeff menaikkan sebelah alisnya dan sudah ingin melontarkan pertanyaan, namun dengan segera dicegah Dinda.
"Maaf kalo selama ini aku merepotkan kalian berdua... Sudah bikin kalian susah. Bikin kalian sakit dan banyak luka. Maaf karena aku terlalu egois dan kalian jadi korban..."
Gian balas menggenggam tangan gadis di sampingnya erat-erat, "Aku minta maaf, Nda. Maaf karena udah kelewat kasar sama kamu... Baiknya kamu malah bikin aku makin merasa bodoh dan jahat. Maaf ya, Nda?"
"Jujur ya, Gi... Aku sempet ada pikiran mau bales hal yang sama atau bahkan lebih jahat dari apa yang kamu lakuin ke aku... Ke keluarga aku dan keluarga Jeff. Bohong kalau aku nggak sakit hati. Tapi kalau kejahatan dibalas kejahatan, kapan baik nya dunia? Minta maaf bisa berulang kali, tapi tolong dengan sangat untuk bisa berubah jadi yang lebih baik. Percuma kalau minta maaf tapi melakukan kesalahan yang sama dua kali"
Gian hanya mengangguk dan balas memeluk Dinda erat. Dia merasa malu, bagaimana kekanakan dirinya dibanding dengan kekasih Jeff sekarang.
"Dinda, I guarantee that Jeff will sacrifice himself for you when he needs to. Because he love you that much. Be happy, you two" bisik Gian.
"And you deserve it too, Gian. God knows what the best for us. Keep in track and do not lose hope" balas Dinda.
Gadis bersurai panjang itu mencuri pandang ke Jeffrian. Sungguh ia takut hendak berucap, tapi si pemuda lebih dulu membuka kata.
"Gue tahu lo jahat dan gue marah banget dan mungkin susah maafin lo sekarang, tapi bukan berarti gue berhenti untuk peduli. Kita sama-sama manusia, sama-sama makan nasi, sama-sama pernah sakit dan senang bareng, so please stop hurting yourself. Okay? Kalo lo butuh temen, lo bisa kontak gue atau Dinda. Sebisa mungkin kita bantu. Kita mati sesuai jadwal, Gi. Jangan asal tulis skenario buat diri lo sendiri, sama aja lo menyalahi aturan Tuhan. Ngerti?"
Meski Jeff menjelaskan dalam nada dingin, tapi Gian merasa penuh syukur saat mengetahui kalau orang-orang yang pernah ia sakiti bisa dengan ikhlas berempati dengan keadaan nya.
"Jeff, lo bener. Yang gue punya ke lo dulu bukan cinta, tapi obsesi. Sejak hari pertama gue lihat lo, gue sama sekali nggak pernah melihat seorang Jeffrian. Tapi Tevy. Maaf karena gue kelewat egois dan bikin lo menderita lahir dan batin. Maaf karena merusak nama keluarga lo dan maaf karena bokap gue juga turut andil dalam penyiksaan ini. Bokap lo nggak salah, jelas nggak akan dikasih hukuman. Ini bocoran aja, tapi lusa kayanya bokap lo udah bisa bebas dan balik ke rumah"
Jeff mengangguk pelan, "Take care, Gi. For anything." balasnya.
"Kamu jadinya gimana, Gi? Proses hukum jalan?" tanya Dinda.
Gian menggeleng, "Hmmm jalan, tapi cuma di awal. Kalian tahu kan... Bokap gue.... Dia nggak akan mau nama keluarga makin terpuruk gara-gara gue. Makanya gue nurut aja dipindah ke Seattle lagi. Jalanin terapi disana dan mungkin nggak akan balik kesini..."
"So... This is kind of farewell?" tanya Jeff.
"Iya. Karena niat gue ketemu kalian emang cuma mau minta maaf sekaligus pamit. Makasih Jeff buat tawaran nya, tapi kayanya gue nggak bisa ganggu kalian lebih lama lagi. Gue yang nggak enak hati. Bukan berarti gue benci, tapi..."
"Iya, iya. Kita paham kok, Gi. Pokoknya kalau ada apa-apa kabarin kita, ya? Misal lo lagi ke Indonesia gitu"
"InsyaAllah ya, Nda. Gue nggak bisa lama-lama disini... Udah pada nungguin. I'm happy for you both"
Gian membalas pelukan singkat Dinda dan Jeffrian sebagai tanda perpisahan. Sebuah minivan hitam sudah menunggu di luar begitu Gian keluar dari cafe itu.
Begitu sampai di mobil, Dinda hanya bisa menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya tidak lagi bisa menahan tangis nya. Jeff memeluk gadisnya erat sambil mengelus punggung itu perlahan.
Ada rasa lega, takut, sedih dan bahagia bercampur jadi satu. Segala beban yang selama ini menggantung akhirnya lepas begitu saja setelah berpamitan dengan Gian barusan, baik Jeff dan juga Dinda.
"We did well, abang. We did well" bisik Dinda.
"Terima kasih udah sangat sabar buat semua ini, sayang. Terima kasih banyak." balas Jeff lirih.
Pada akhirnya, laga terberat dalam hidup adalah mengalahkan ego dan emosi kita sendiri. Dan Gian sudah berhasil menaklukkan dirinya, menjadi kendali penuh atas kesadaran yang ia punya.
Mungkin Gian kalah telak dalam hidup, dan pada akhirnya bisa memenangkan peperangan dengan dirinya sendiri.
She did well.
"Yang, kalo kita nikah pas aku lulus kuliah gimana?"
"HAH?????!!!!!!"