Enam Puluh Tiga

3.5K 718 21
                                    

Aku yakin pembaca sekalian mengerti bagaimana menghargai karya dari kami para penulis gratis. Selamat membaca♥️















Telinga Dinda sayup-sayup mendengar suara bel terompet tukang siomay yang biasa lewat di komplek perumahan ketika ia hendak menutup pagar selepas pulang sekolah. Kadang tukang siomay yang biasa dipanggil Pak Pan itu lewat menjelang maghrib atau setelahnya. Tergantung jumlah pembeli yang menghentikan gerobak sepedanya.

"Pak Pan!" panggil Dinda begitu sosok bersepeda dengan gerobak warna biru tua di bagian belakang lewat di dekatnya.

"Eh, mbak!"

Laki-laki berkemeja kotak-kotak dengan topi lusuh warna hitam itu memundurkan sedikit sepedanya agar pas dengan lokasi berdiri si pembeli.

"Tinggal apa aja, pak?" tanya Dinda.

"Masih lengkap kok, mbak. Mau beli berapa?"

"EEE MAUUUU!!!" teriak Andaru sambil menutup pintu mobil dan berdiri di samping Dinda, "Pak, 10 ribu ya! Siomay sama gorengan, sambel yang banyak, jangan pake kecap sama saos tomat" pesan pemuda itu.

"Saya... 10 ribu juga. Campur, tapi jangan pake pare ya pak. Saos kacang nya yang banyak, sambel tiga sendok, kecap nya dikiiit aja sama jangan pake saos tomat"

Kening Andaru mengerut, "Lah kok campur? Bukannya lo kaga demen tahu?" tanya nya.

"Hehe, emang. Ini pesenan Bang Jeff biasanya..."

Mendengar jawaban kakak sepupunya, Andaru cuma bisa tersenyum tipis sambil menepuk pelan kepala Dinda. Kondisi gadis itu sudah cukup membaik dan stabil selepas mendengar rekaman di ponsel Jeff. Meskipun kadang masih suka melamun sampai ditegur guru, seenggaknya Dinda nggak terlihat murung dan berhenti mengunci diri di kamar.

Dinda masih berusaha tidak terlalu banyak berharap dengan perasaan Jeff untuknya. Membayangkan seorang Jeffrian punya perasaan yang sama hanya membuat dada Dinda terasa sesak, antara senang, takut dan sedih; senang kalau memang itu benar adanya, takut kalau ternyata Dinda yang berharap terlalu tinggi dan sedih jika ekspektasi nya nggak akan selaras dengan kenyataan.

Sebisa mungkin Dinda memosisikan dirinya dengan baik. Jadi seorang Janna Adinda Prakasita, adik Juniya, Johnny dan juga Jeffrian. Iya, adik. Karena dari dulu Jeff selalu bilang kalau dia sayang Dinda sebesar kedua kakak Prakasita menyayangi adiknya. Sebesar itu. Sepenuh itu. Sakit memang, tapi Dinda lebih baik mengalah dan menerima daripada harus kehilangan Jeffrian hanya demi membalas perasaan nya.

Kadang Dinda merasa Jeff itu terlalu indah untuknya. Too good to be true. Ada masa dimana Dinda merasa rendah diri jika harus disandingkan dengan pemuda berlesung pipi itu. Si bungsu paham betul bagaimana tatapan memuja tiap kaum hawa yang berpapasan dengan Jeff di jalan, bagaimana hanya lewat sekelebat lisan sudah banyak hati yang rela jatuh begitu saja untuk Jeffrian. Karena memang seindah itu.

"Teh, kita nunggu di luar aja ya? Nggak apa-apa?" tanya Sade.

Median sudah kembali ke Singapura dan Andaru yang harus berkutat dengan tugas kelompok membuat si kembar giliran mengantar kakak sepupunya menjenguk Jeff. Juniya dan Johnny biasa datang saat malam setelah kelar urusan kuliah dan kerja nya. Kadang sama mbak pacar, kadang sendirian. Atau kadang Mas Bulan ikutan.

"Hmmmm nggak apa-apa sih... Tapi kalo teteh agak lama nggak apa-apa?" tanya Dinda balik. Nana mencubit pipi Dinda pelan, "Yang emang butuh waktu sama Bang Jeff kan teteh... Bukan kita. Ntar deh tanya-tanya onderdil mobil ke Bang Jeff kalo dia dah bangun. Sekarang sana ama teteh aja!" ujar nya.

"Okey.... Kalian kalo laper ke kantin aja. Kabar-kabarin kalo kalian mau jalan kemana"

"Iya iyaaaa. Dah sana! Kita mau push rank sama Bira!" balas Nana sebelum bergabung dengan Sade dan Bira yang sibuk mengobrol di ujung lorong.

Bang JeffTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang