Selama perjalanan, yang Dinda bayangkan hanyalah Jeffrian yang duduk di atas kasur nya dengan wajah ceria dan berujar,
'Abang nggak apa-apa. Nggak usah sedih gitu mukanya. Jelek!'
Seperti dulu waktu pemuda itu jatuh untuk pertama kali setelah belajar motor atau saat penyakit tifus nya kambuh karena jajan sembarangan.
Dinda belajar bahwa harapan yang tinggi bisa menghempasmu bertemu dengan realita tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sakitnya menjalar ke seluruh tubuh; sedih, marah, kecewa --- itu semua bercampur menjadi satu.
Bahkan si bungsu tidak bisa merasakan apapun begitu mengetahui kondisi Jeffrian yang sebenarnya.
Koma.
Tubuh yang biasanya memeluk Dinda kala gadis itu sedih kini hanya terbaring di atas tempat tidur dengan berbagai selang dan kabel dari kepala hingga kaki. Rambut lebat Jeff terpaksa di pangkas di beberapa bagian untuk memudahkan paramedis menjahit luka yang menganga.
Dinda nggak ingin membayangkan betapa kerasnya mobil Jeff menghantam beton pembatas jalan tol malam itu. Entah berapa kecepatan yang diambil nya hingga menyebabkan luka sedemikian banyak hingga raga Jeff menolak untuk bangun. Enggan membuka mata.
Sudah 15 menit Dinda duduk tak jauh dari tempat tidur Jeff, tapi gadis itu hanya bisa diam. Ia membiarkan suara mesin-mesin penunjang hidup pemuda di depannya mengisi seantero ruangan. Dengan itu ia yakin bahwa ini nyata, bukan mimpi.
Otak Dinda hanya bisa memproses satu informasi: ia tidak ingin Jeff berakhir seperti Bunda nya.
Serangkain doa ia panjatkan kepada Tuhan agar keinginan nya segera terkabul. Mata itu akan membuka pada akhirnya, senyum itu akan kembali pada waktunya. Jeff harus tetap disini, tidak boleh kemana-mana.
"Adek..." bisik Juniya yang baru memasuki ruangan.
Kakak kedua Dinda itu harus kembali ke kampus setelah menjaga kawannya di pagi hingga siang hari karena ada kuis yang nggak bisa ditinggal begitu saja.
"Udah makan?"
Dinda hanya menggeleng sebagai jawaban. Membuat kakaknya berdecak sebal.
"Ayo makan, abang temenin. Sedih boleh tapi badan tetep harus dikasih makan. Cukup Jeff aja yang sakit. Kamu nggak boleh ikutan" tegasnya.
"Nggak laper... Aku cuma mau disini aja. Boleh?"
Juniya terdiam lalu menghela napas dalam-dalam, "Abang bawain makanan nanti. Jeff nggak bakalan kemana-mana, Nda. Dia tetep disini. Nanti makan diluar. Gantian jenguk sama yang lain" katanya.
Belum juga Juniya membuka knop pintu, ia kembali terdiam tatkala adiknya melontarkan pertanyaan.
"Bang Jeff bakalan baik-baik aja kan, bang? Dia tetep sama kita, kan?"
"Iya. Jeff tetep sama kita. Kenapa tanya gitu?"
Dinda menggigit bawah bibirnya sebelum menjawab, "Badan Bang Jeff dingin banget. Persis kaya Bunda dulu. Aku cuma takut dia bakal kaya Bunda.... Aku... Nggak mau Bang Jeff nyusul Bunda..." jelas nya.
"Dinda, everything will be alright. We have to believe that Jeff will stay with us. Kamu nggak usah khawatir. Oke?"
Si bungsu hanya mengangguk dan kembali menyandarkan punggung nya ke kursi.
Begitu keluar, Juniya menepuk dadanya keras-keras. Berusaha mengambil napas sebanyak yang ia bisa sebelum berakhir menangisi dirj sendiri.
Rasa takut yang Dinda rasakan saat ini, Juniya juga turut rasakan. Dia hanya mencoba menjadi sekuat yang ia bisa di depan si bungsu, agar gadis itu tidak perlu merasa kelewat cemas. Ia takut kehilangan sahabatnya,