He used to call me as a porcelain doll.
Katanya tiap inchi tubuhku mengingatkan nya akan koleksi boneka porselen milik Eyang nya yang selalu terjajar rapi di sebuah etalase kaca dengan pinggiran sepuhan emas.
Katanya kulit ku terlalu pucat untuk manusia kebanyakan, hell no, dia harus banyak-banyak berkaca karena dia sendiri pun seputih hantu.
Katanya aku terlalu mencolok ketika berada di antara yang lain. Mau seramai apapun sekitar ku, ia selalu berkata kalau aku terlihat bersinar diterpa cahaya lampu atau matahari.
Jeffrian was so cheesy, but I love it.
Pertama kali kami kenal ketika ospek fakultas. Dia kelompok Venus dan aku kelompok Bumi. Aku masih ingat betul bagaimana dia dengan mudah nya menjadi pusat perhatian. Tentu saja karena dia tampan. Oh, dan juga teman-temannya. Kalau tidak salah sih namanya Aldo, Saka, Juniya, Adnan dan Dasa. Mereka kalau kumpul sangat berisik, terutama Aldo dan Dasa. Bisa tiap menit adu mulut. Lalu Jeff hanya menonton sembari tertawa atau kadang ikut membela salah satu pihak yang membuat adu mulut itu semakin seru.
Kadang aku melihatnya mencuri pandang ke arahku ketika aku sedang melihatnya. Paham, kan?
Lalu kami baru benar-benar mengenal satu sama lain saat ponsel kami tidak sengaja tertukar.
Jadi ceritanya, aku sedang berdiri di depan bagian informasi rektorat dan tiba-tiba Jeff datang tergopoh-gopoh. Rupanya salah satu bagian akademik kampus memanggilnya, tapi dia nggak paham harus bertemu di ruangan apa. Bodoh nya, ponsel kami berada dalam jarak yang sangat dekat sehingga saat aku lengah, Jeffrian malah mengambil ponsel milikku dan baru tahu kalau miliknya tertukar saat berusaha mencari kontak temannya.
"Ah, maaf. Gua yang teledor. Ini punya lo, tapi boleh minta kontak nggak? Siapa tahu suatu saat butuh"
Katanya sore itu.
Ms. Porcelain
Ia memberi nama kontak ku dengan Ms. Porcelain dan aku sama sekali nggak mengerti apa yang ia maksud. Saat aku bertanya apa artinya, ia bilang jawabannya ada di makan malam berikutnya.
Sebuah ajakan halus bagi seorang pria untuk berusaha mendekati seorang wanita. Tapi sayang, saat itu aku sudah ada status dengan salah satu senior ku. Mungkin kalau Jeff lebih cepat, ceritanya akan berbeda. Tapi toh kata orang, jodoh nggak akan kemana.
Dan makan malam itu pun tiba.
Berselang 2 minggu setelah aku putus, Jeff sudah berada di depan pagar dengan kemeja hitam yang kontras dengan kulit nya yang pucat.
"We met again, Ms. Porcelain" sapanya pertama kali.
Aku akhirnya mengakui bahwa Jeff patut digadang-gadangkan sebagai bagian dari most wanted kampus. I mean, dia tidak hanya tampan dan berkharisma--- tapi dia juga sangat lembut dalam bertutur dan berlaku. Dengan mudahnya aku takluk dalam sekali peluk.
Banyak yang ia ceritakan; tentang keluarga nya, teman-teman nya, hobi nya, apapun yang ia suka. Aku merasa seperti sedang membaca buku yang dengan sukarela terbuka.
Tapi Jeff tidak pernah bisa membaca ku.
Tidak, aku memang berlaku curang. Dari sekian banyak hari yang kami lewati, Jeff hanya tahu latar belakang keluarga ku dari mesin pencari dan letak rumah. Itu saja. Karena di balik tiap genggaman tangan dan pelukan sebelum pulang, aku menyimpan dalam-dalam berbagai ketakutan yang bisa saja terdengar oleh Jeffrian.