"Teh, bagusan yang merah, item apa biru?" Andaru mengangkat tiga tas ransel di kedua tangannya.
"Merah. Kan di rumah udah ada yang item. Lo nggak suka warna biru" balas Dinda. Andaru mengangguk puas dan menyerahkan pilihan kakak sepupunya ke petugas yang sudah menunggu.
"Mau beli apa lagi? Masih lama nggak?" tanya Dinda.
"Hmmm gue mau cari alat tulis yang lain sih sama ada komik gitu. Duduk tuh disitu kalo capek, nanti kelar gue samperin"
"Nggak deh. Gue beli minum dulu di bawah. Mau nggak?"
"Apaan dulu?"
"Bubble tea"
"Ya udah mau. Samain aja, teh"
Dinda mengangguk sebagai jawaban dan menghampiri Ten di rak buku desain, "Abang, aku mau beli minum dulu ya" pamit nya.
"Aku temenin, ya?"
"Emang nggak lagi cari buku?"
"Nggak. Cuma lihat-lihat aja kok. Yuk!"
Ten menggamit jemari Dinda dan menuntun gadis itu setelah menyatakan tujuannya.
Kalau nggak dipaksa Andaru dan Ten, Dinda bakalan terus di kamarnya sehari penuh. Paling keluar cuma buat makan, kasih makan kucing jalanan sekitaran rumah atau ada perlu dengan Bibi yang biasa bantu-bantu di rumah.
Andaru memaksa minta ditemani beli alat tulis bertepatan dengan kedatangan Ten yang memang sengaja mampir ke Rumah Prakasita setelah mendengar cerita sejelas-jelasnya dari Juniya. Kedua kakak Dinda sedang sibuk di luar; sama-sama memenuhi kewajiban apel mingguan dengan mbak pacar.
"Badan kamu anget, ya? Muka nya merah gini"
Pemuda berkacamata bundar itu menaruh punggung tangannya di dahi Dinda, "Iya loh mau demam kamu. Abis ini cari apotek ya, kita beli obat sama plester demam. Nanti beli minum less ice aja. Jangan protes!"
Baru Dinda mau membuka mulut untuk persuading Ten biar dia bisa beli minuman dingin tapi sudah gagal duluan. Si bungsu suka lupa kalau pemuda di sampingnya ini campuran Jun dan Johnny: lembut tapi juga galak dalam satu waktu.
"Antri banget" monolog Dinda yang terdengar oleh Ten. "Kamu duduk aja biar abang yang beli" katanya.
"Nggak usah deh. Nanti kalo pantat aku nyentuh kursi bisa males berdiri lagi"
Ten hanya terkekeh kecil mendengar jawaban Dinda dan makin mempererat pegangan di tangan gadis itu. Gemes.
Mungkin benar adanya Tuhan maha membolak-balikkan perasaan umatnya. Karena baru beberapa detik lalu Ten merasa senang dan nyaman, kini berubah 180 derajat jadi kesal, marah dan risih dalam satu waktu setelah matanya menangkap sosok nan familiar mendekat ke arahnya.
"Dinda beneran mending duduk disana dulu aja biar abang yang pesen. Ya? Mau ya?" bujuk Ten.
"Beneran nggak deh bang. Aku nggak kenapa-kenapa kok"
"Tapi Nda-"
Terlambat.
Belum sempat Ten mengunci posisi Dinda, si bungsu sudah kedapatan melihat Jeff dan Gian berada tepat di belakang mereka.
"Eh, Dinda? Kebetulan banget ketemu disini! Apa kabar?" sapa Gian sumringah.
"Kabar baik"
Entah Ten harus khawatir atau tenang karena ekspresi Dinda sangat datar dan intonasi suaranya sangat tenang meskipun bertemu dua makhluk ini.
"Sama pacar nih?" tanya Gian sembari melirik Ten.
"Hm? Oh, iya. Kenalin ini Dasa, panggil aja Ten" balas Dinda sambil menyenggol pelan lengan Ten.