"Nggak usah buru-buru kalo ngunyah, Adinda. Belepotan jadinyaaa"
Tanganku mengusap ujung bibir Dinda yang bernoda selai kacang. Gadis itu hanya tersenyum singkat lalu melanjutkan sarapan nya.
Juniya yang sudah selesai sarapan memilih menunggu ku dan Dinda sambil menonton berita pagi. Sesekali terdengar celetukan sarkasme tiap pembawa berita menyebutkan nama politisi tertentu.
Sedangkan sulung Prakasita sudah pergi ke kantor pagi-pagi buta untuk selanjutnya mengecek proyek di kota sebelah. Kerjaan sebagai pegawai baru benar-benar menyita waktunya.
"Sudah?" tanyaku saat Dinda meneguk susu cokelat nya.
"Bentar"
Dinda berjalan ke wastafel dan mengeluarkan lip balm serta liptint dari kantong baju nya.
Sejak kapan si bungsu gemar berdandan?
"Jangan tebel-tebel pake nya. Inget, mau ke sekolah bukan ke mall" ujar ku.
"Temen-temen Dinda juga kaya gini, abang. Malah ada yang lebih menor"
"Kamu nggak perlu menor buat kelihatan cantik. Udah ayo berangkat! Keburu telat nanti"
Perkataan ku barusan sepenuhnya jujur. Tanpa make up pun Dinda sudah cantik. Lagi pula aku sedikit tidak suka dengan pandangan teman-teman lawan jenis nya yang begitu memuja Dinda tiap berpapasan.
Juniya membelokkan mobil nya begitu kita sampai di persimpangan pertama sedangkan aku dan Dinda tetap lurus menuju sekolah. Sebagai kaum budak cinta, Jun harus menjemput pacar nya dulu baru bisa ke kampus.
"Tugas nya banyak ya bang?" tanya Dinda.
"Hmmmm lumayan sih. Besok kalo Dinda kuliah juga gini. Banyak tugas, banyak kelas, belum kalo dosen batalin kelas seenak jidat atau nggak mendadak ada kuis"
Aku merasakan jemari Dinda di bawah pelupuk mataku.
"Pantesan makin item ini. Cukupin istirahat, abang. Jangan diforsir" katanya.
Tangannya mengelus bagian bawah mata ku yang makin hari makin meghitam karena tidak cukup tidur, lalu mencubit sekilas pipi ku dan kembali menaruh tangannya di atas paha.
"Sekolah gimana? Ada yang gangguin nggak? Cerita sama abang biar abang datengin anaknya"
Dinda meringis kecil, "Nggak ada. Mana ada yang berani ganggu kalo Winwin nempelin aku terus tiap menit" jawab nya.
Diam-diam aku tersenyum. Ternyata Winwin bisa diandalkan juga anaknya. Selain dapat wejangan dari Jun dan Johnny, aku juga turut memberi tugas untuk teman Dinda yang satu itu supaya menjauhkan para siswa yang iseng dari si bungsu.
Waktu satu sekolah dulu, sangat mudah memantau Dinda kemana-mana. Nggak ada satupun yang berani ganggu Dinda karena mereka paham pasti akan berurusan dengan tiga body guard ini. Maksudnya aku, Jun dan Johnny.
"Tapi kemarin Dinda dikenalin sama temen, ada satu anak sekolah lain gitu namanya Sastra. Dia ke sekolah Dinda waktu ada sparring basket, terus ya gitu"
Ada senyuman kecil di wajah gadis itu sedangkan aku yang melihatnya merasa cemburu. Sejak kapan Dinda bisa senyum-senyum begitu hanya karena satu nama? Siapa tadi? Sastra?
"Anak kecil nggak boleh cinta-cintaan" ujar ku sambil mencubit pipinya.
"Ih apaan? Siapa bilang Dinda suka?"
"Itu tadi apa senyum-senyum begitu?"
"Masa senyum doang nggak boleh? Abang aneh ih!"
Aku mendecak sebal, "Serius ini abang bilang ya, adek jangan pacar-pacaran dulu. Nanti kena marah Bang Johnny gimana?" tanya ku.