Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci, Johnny yang baru pulang dari mengecek proyek di kawasan Malang bermaksud hendak langsung mandi dan tidur, tapi niatnya urung setelah sayup-sayup mendengar bunyi berisik dari kamar si bungsu. Kening sulung Prakasita itu mengerut begitu melihat jam dinding. Sudah hampir subuh tapi Dinda belum juga tidur. Dari depan pintu, Johnny bisa melihat lampu kamar adiknya masih menyala.
"Adek?" panggil Johnny setelah mengetuk pintu.
"Masuk aja... Nggak dikunci..." jawab Dinda.
Melihat barang berserakan dimana-mana membuat Johnny risih dan langsung merapikan sebisa nya. Nggak biasanya Dinda jadi se rusuh ini. Belum lagi meja belajar yang isinya macam-macam; buku pelajaran, bungkus cemilan, alat tulis dan kertas-kertas yang entah apa isinya.
"Dek, kok nggak tidur? Kan masuk pagi"
"Hmmm... Bentar lagi selesai kok"
Johnny mengintip apa yang sedang diketik sang adik pada laptop nya dan mendapati judul karya ilmiah yang diperuntukkan lomba tingkat kota. Ia tahu kalau Dinda akhirnya setuju untuk mengikuti lomba karya ilmiah setelah bolak-balik menolak tawaran guru nya 2 tahun belakangan ini. Si bungsu jadi super sibuk, berangkat pagi buta dan pulangnya lewat jam malam.
Tapi Johnny merasa kondisi Dinda sudah kelewat batas melihat bagaimana paras ayu itu terlihat lesu dan kantung mata nya makin tebal. Lingkaran hitam di bawah mata menandakan kalau adiknya tidak cukup tidur belakangan. Rambut Dinda yang dibiarkan tergerai kusut. Sangat bukan Adinda yang biasa Johnny lihat.
"Matiin laptop nya" perintah Johnny.
"Nanggung, bang. Tinggal dikit"
"Matiin. Ini perintah. Nggak ada negosiasi"
Dinda menghembuskan napas kasar dan terpaksa mengikuti apa yang abang nya perintahkan. Si bungsu kelewat lelah untuk berdebat dan sedang malas cari masalah. Johnny membantu membereskan barang-barang yang ada setelah memaksa adiknya untuk duduk diam di kasur daripada ikut membantu.
"Udah makan?"
"Udah"
"Kapan?"
"Hmmmm kapan ya... Tadi siang?" jawab Dinda ragu. Jelas ia tahu menjawab seperti itu sama saja membuat kakaknya makin kesal.
Setelah selesai beberes, Johnny memaksa adiknya untuk ikut turun ke ruang makan. Ia harus memastikan Dinda makan dengan cukup malam ini dan meminum vitamin nya, bisa-bisa Dinda jadi zombie kalau pola hidup nya seperti ini terus.
"Sibuk boleh. Tapi jangan sampe lupa makan sama minum vitamin. Kalo kamu sakit, siapa yang rugi? Siapa yang nggak bisa lanjut lomba? Kamu kan" omel Johnny di tengah memasak mie rebus dengan ekstra sayuran.
"Ayah cari duit bukan buat dihabisin di rumah sakit. Bukan buat beli obat atau cairan infus terus-terusan. Tapi buat mencukupi kebutuhan kamu sama Jun. Biar kalian seneng. Adek mau bikin Ayah sedih, iya?"
Dinda menggeleng, "Maaf... Nggak diulangi lagi" jawabnya pelan.
Wangi gurih dari kaldu ayam menguar membuat cacing di perut Dinda meronta minta diberi makan. Setelah menggumam terima kasih, si bungsu perlahan menghabiskan makan malam nya ditemani Johnny.
"Abang seneng kok adek ada kegiatan baru yang sifatnya positif, apalagi membawa nama sekolah dan keluarga juga pada akhirnya. Tapi nggak gini juga. Makan suka di skip, minum vitamin juga lupa, belum lagi kalo pulang malem banget. Kadang kalah abang yang orang kantoran sama kamu"
"Ya tapi sekarang abang pulangnya jauh lebih malem kan?"
"Dinda!" protes Johnny. Dinda menundukkan kepalanya, "Sorry..." jawab nya lirih.