Tak peduli dengan rasa dinginnya lantai rumah sakit, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang berlalu lalang menatapnya dengan tatapan bingung, kasihan dan segala macam.
Tak peduli dengan getaran di ponselnya yang terus berbunyi.Fokusnya hanya pada seseorang yang saat ini tengah terbaring lemah di ruang ICU, seseorang yang beberapa jam lalu baru saja menghabiskan waktu dengannya. Sekarang orang itu entahlah bagaimana keadaanya.
Segala rapalan doa terus ia ucapkan dalam hati, sekeras mungkin menahan air matanya agar tidak keluar. Ia laki-laki ia tidak boleh menangis, ia harus kuat. Orang yang berada di dalam sana saja mungkin sekarang sedang bertarung melawan penyakitnya. Masa Nathan tak bisa bertarung menahan air matanya agar tidak keluar.
Mungkin saat ini ia tidak bisa melakukan apa-apa, Nathan hanya terduduk di lantai rumah sakit sambil menelungkupkan kepalanya di kedua dengkulnya sebagai tumpuan. Berulang kali ia mengusap rambutnya frustasi.
"Nat."
Nathan langsung menoleh ke sumber suara, ia mendapati Radit yang sudah berdiri di depannya.
"Sabar, ayo duduk di sana. Ngapain duduk di lantai kayak pengemis aja lo." Radit segera menarik tangan Nathan dan membawa cowok itu untuk duduk di sebuah kursi.
"Tadi Om Irfan nanyain lo ke gue, terus gue jawab lo ada di rumah gue."
"Alisha sakit Dit," lirih Nathan sambil menundukan kepalanya, ia kalah. Air matanya lolos begitu saja.
"Gue tau." Radit mengusap punggung Nathan mencoba menenangkan cowok tersebut.
Radit sejujurnya tak tega melihat Nathan seperti ini, bagaimana tidak. Beberapa hari yang lalu Alisha baru saja keluar dari rumah sakit dan sekarang harus kembali masuk rumah sakit karena penyakit yang menyerangnya, terkadang Nathan begitu membangga-banggakan kebersamaannya dengan Alisha di depan teman-temannya. Dan sekarang Nathan begitu terpuruk karena orang tersayangnya.
Radit tak bisa melakukan apapun untuk membantu sahabatnya itu. Mungkin yang bisa ia lalukan hanya bantu berdoa demi kesembuhan Alisha.
"Gue takut dia pergi," lirih Nathan. Air matanya semakin banyak yang lolos dari pelupuk matanya.
"Dia gak akan pergi, dia sayang sama lo. Gak mungkin dia pergi ninggalin lo," jawab Radit.
"Kalo dia pergi gimana?" Tanya Nathan sambil mendongak menatap Radit yang masih berdiri.
"Mencoba buat ikhlasin semuanya, karena sekuat apapun kita menahan dia agar tidak pergi. Dia bakalan tetap pergi." Radit duduk di samping Nathan.
"Jangan pergi di saat Alisha lagi kaya gini Nat, dia butuh dorongan dari orang-orang terdekatnya, dia butuh dukungan dari lo. Dan gue yakin pasti dia juga pengen sembuh."
Nathan menghela napasnya. Setidaknya ia agak sedikit merasa tenang. Nathan yakin Alisha pasti akan sembuh, Alisha tak akan meninggalkannya.
🌻🌻🌻🌻
"Kenapa begitu cepat?"
"Sel kanker ternyata sudah menyebar ke seluruh organ tubuhnya, jalan satu-satunya yaitu operasi. Kami sebagai Dokter tidak bisa melakukan kemoterapi terus-terusan mengingat kondisi pasien yang tak menentu. Kadang membaik kadang tidak, kasihan pasiennya. Dia kerap kali merasakan sakit setelah usai kemoterapi."
"Bantu putri saya Dok, berapa pun biayanya akan saya bayar asalkan putri saya bisa sembuh."
"Tinggal menghitung hari kita akan segera berangkat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Day Ever (SUDAH TERBIT)
Teen FictionCover by : @arakim_design 15+ Ada arus deras yang terus menarik kaki Nathan. Membuat Nathan semakin lama semakin tenggelam. Tubuhnya dibiarkan terkulai dan tak berdaya. Tidak memiliki keinginan untuk berenang kembali ke permukaan. Sampai akhirnya, a...