Shila dan Sania melangkahkan kaki mereka menuju ke arah kasur yang terdapat seorang gadis tengah terduduk manis di sana.
Sungguh, ini semua bagaikan mimpi. Entah mimpi buruk atau mimpi indah, mereka berdua juga sulit mendeskripsikan ini semua, isak tangis dari bibir tipis Shila maupun Sania sulit untuk dihentikan seolah-olah hal yang mereka lihat benar-benar sangat menyedihkan.
Shila terus menggelengkan kepalanya lemah, tidak mungkin ia melihat ini. Bagaimana bisa?
"Shila, Sania," panggil gadis tersebut lembut sambil menghampiri kedua sahabatnya itu.
"Al--alisha."
Air mata benar-benar sulit untuk dihentikan. Sania menggigit bibir bawahnya agar tidak mengeluarkan isakan namun semua itu sia-sia. Sania tak dapat menahan kesedihan yang menghinggapi dirinya. Baginya ini adalah hal yang sangat dinantikan. Namun entah kenapa ia malah sedih bukannya senang karena orang tersayangnya telah kembali.
"Rasa bahagia akan hilang ketika melihat orang yang kita sayangi bersedih," kata gadis tersebut sambil menghapus air mata kedua sahabatnya.
Shila maupun Sania sulit sekali mengeluarkan kata-kata. Seolah-olah lidah mereka ada yang mengunci.
"Berhentilah menangis, gue kembali."
"Alisha."
Shila dan Sania kompak memeluk Alisha erat, sahabat mereka yang telah kembali dari pergi jauhnya. Sungguh rindu yang menyelimuti mereka sulit untuk diatur, syukurlah Tuhan masih mempertemukan mereka.
Alisha membalas pelukan kedua sahabatnya tak kalah erat, sungguh ia amat sangat merindukan kedua sosok sahabatanya ini, sosok sahabat yang selalu menyemangati hari-hari Alisha. Di sini Alisha benar-benar merasa bersalah atas apa yang telah ia lakukan kepada kedua sahabatnya, ia meninggalkan mereka begitu saja sampai waktu yang lumayan lama tanpa alasan yang jelas. Alisha benar-benar merasa bersalah. Seharusnya ia memberitahu rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari sahabat-sahabatnya. Bagaimana pun juga mereka adalah orang yang telah menemani Alisha sampai saat ini.
"Duduk," lirih Shila, ia kemudian menuntun Alisha untuk duduk di bibir kasur.
"Jangan Nangis." Alisha merangkul kedua sahabatnya.
Dan tangis pun kembali pecah, bagaimana bisa Shila dan Sania membendung rasa sedih yang menghinggapi mereka berdua. Alisha tiba-tiba datang setelah menghilang tanpa memberitahu mereka berdua.
"Gue gak suka liat orang yang gue sayang nangis karena gue, seolah-olah gue ngerasa kalau gue udah nyakitin lo berdua," kata Alisha.
Shila dan Sania kompak menatap ke arah Alisha. Mereka memperhatikan penampilan Alisha yang benar-benar sangat berbeda. Alisha terlihat pucat, kelopak mata yang menghitam seperti kurang tidur, pipi menirus, pakaian yang dikenakan Alisha lebih rapat dan tebal berbeda dari biasanya dan sesuatu yang sedari tadi membuat Shila dan Sania tak bisa menahan tangis adalah.
Shila menyentuh kepala Alisha.
"Gue gak apa-apa Shil."
Bibir Shila bergetar tak kuasa menahan kesedihannya, "Bagaimana bisa lo bilang lo gak kenapa-napa di saat gue liat keadaan lo yang kayak gini hiks..hiks.." Shila menundukan kepalanya dalam-dalam. Pundaknya bergetar hebat karena suara tangis itu kembali terdengar.
Alisha menteskan air matanya melihat kedua sahabatnya terus menangis karena dirinya, Alisha tak bisa melihat orang yang ia sayang menangis seperti ini, di sini ia merasa menjadi manusia paling jahat karena telah menyakiti kedua sahabatnya.
"Ada apa sama lo Al?" Tanya Sania menatap lekat kedua bola mata Alisha.
Alisha menggenggam kedua tangan sahabatnya, ini memang sudah ia rencanakan sejak awal sebelum ia datang ke rumah Shila. Ia akan menceritakan semua yang selama ini ia rahasiakan kepada sahabat-sahabatnya. Toh mereka juga berhak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Day Ever (SUDAH TERBIT)
Teen FictionCover by : @arakim_design 15+ Ada arus deras yang terus menarik kaki Nathan. Membuat Nathan semakin lama semakin tenggelam. Tubuhnya dibiarkan terkulai dan tak berdaya. Tidak memiliki keinginan untuk berenang kembali ke permukaan. Sampai akhirnya, a...