15. Marga

1.1K 172 415
                                        

*Tahun 2002, Bulan 2, hari 22, pukul 11.00
Masa 26 tahun yang lalu sebelum terjadi perang besar keempat.

(Flash back on)

Di Negeri 4 Raja, sebelum berubah nama menjadi Negeri Timur.

Jali kecil membungkuk memegangi kedua lututnya, hanya memakai celana pendek menutupi lutut tampak kepayahan dengan keringat yang sudah membasahi di sekujur badannya.

Setetes keringat mengalir masuk melewati bibirnya, tertangkap rasa asinnya oleh lidah. Jali meludah dan segera mengusap bibirnya dengan punggung tangan kanan.

"Sudah mau istirahat Jali?" tanya Japra dengan wajah datar.

"Masih belum," jawab Jali kecil kepada Ayahnya.

Jali tau, pertanyaan ayahnya itu bermaksud menyindir fisiknya yang sudah kepayahan dan Jali paling benci mengaku kalah, apalagi diremehkan dengan sikap Sang ayah selalu menatapnya dengan cemberut.

Jali segera berdiri tegak, memantapkan pijakan kakinya berjalan ke pohon Waru untuk mengambil tombak yang panjangnya bahkan 2x lipat dari tinggi badannya sendiri. Tombak itu menancap dengan pongah di sana, meleset dari sasaran yang seharusnya.

Kaki kanan Jali menjejak pada batang pohon Waru, lalu dengan kedua tangan sekuat tenaga mencabut tombak. Untuk kesekian kalinya Jali terdiam sejenak mengatur nafas, menahan agar air matanya tidak keluar, lalu berjalan kembali ke arah garis lempar.

Lagi-lagi Jali berjalan melewati pohon Jati yang sama, dia melirik lagi ke selembar kulit sapi. Mendengus kesal, seharusnya tombaknya menancap di target kulit itu, tapi lemparannya malah meleset sekitar 5 derajat ke samping kanan, hingga tombaknya terlempar jauh ke arah rimbunan pohon Waru di belakang pohon Jati.

Jali telah kembali ke posisi garis lempar, 5 meter dari pohon Jati. Mata Jali terpejam, nafasnya ternyata masih tidak beraturan. Kedua tangannya masih menggenggam tombak kayu seberat 15 kg dengan ujung besi lancip. Untuk ukuran anak usia 5 tahun, apa yang Jali bisa lakukan sekarang itu sudah pencapaian yang mengagumkan, tapi Jali belum dan tidak pernah merasa puas.

"Waktuku tidak banyak hari ini, aku harus menghadiri rapat dengan kepala suku tepat sebelum matahari berada di puncak," ucap Japra.

"Aku mengerti, ayah pergi saja dulu. Aku pulang sebentar lagi." Jali masih tetap ingin bertahan, berlatih melempar tombak, sendirian di hutan Bukit Slarang.

"Baiklah kalau begitu, aku tidak akan memaksa, tapi ingat kau harus pulang saat waktu makan siang, aku tidak mau diomeli oleh ibumu karena ketahuan meninggalkanmu. Kalau itu sampai terjadi, aku tidak akan mau melatihmu lagi!" ucap Japra, menyadari sifat Jali tak jauh berbeda dengannya, begitu kekeh dengan pendirian.

Jali hanya mengangguk, tanpa memandang kepada ayahnya, matanya tertuju pada sebuah titik merah yang tergambar pada kulit sapi yang sengaja ditempelkan pada pohon Jati sebagai target sasaran.

Jali bersiap untuk melakukan lemparannya yang ke-36, seperti sebelumnya, dia yakin kali ini pasti akan menancap tepat pada sasaran. Dia tidak akan pulang sebelum tombak itu tepat mengenai sasaran.

"Oh iya, satu hal lagi terakhir, sebelum aku pulang," ucap Japra meminta perhatian anaknya.

Dengan berat hati Jali melepaskan pandangan dari target, demi menghormati guru dan sekaligus ayahnya. Jali memperhatikan sang ayah, namun tak benar-benar berani memandang pada mata sang ayah.

"Tujuanku melatihmu adalah agar kau menjadi pelempar tombak jitu, mampu mempertahankan diri, mampu berburu, mampu menjadi pejuang dan membanggakan nama besar keluarga Kannai, sang pelempar tombak dari suku Babakan, itu saja harapanku."

Pencari ArwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang