Tahun 0004, bulan 01, hari 20, pukul 07.30 Waktu Negeri Utara.
Hutan Candu.
Salah satu dari 5 wilayah besar di Negeri Utara. Areanya dipenuhi hutan belantara. Begitu pekatnya hingga hangatnya mentari tidak mampu menjamah kulit pepohonan. Hanya pucuk-pucuk pohon yang berlomba merebutkan cahaya, sedangkan bagian bawah pohonnya harus merelakan diri diselimuti lumut yang dingin.
Dua orang pemuda sedang melintasi sebuah jalanan sempit berupa ilalang setinggi betis hasil babat secara asal-asalan untuk membuat jalan pintas melintasi lebatnya hutan. Salah satu dari pemuda itu tampak begitu kerepotan menuntun keledai yang enggan diajak masuk lebih jauh ke dalam hutan.
"Kak, apa sebaiknya kita kembali saja? Kita lewat jalan utama seperti biasa," ucap seorang pemuda kecil bermata juling menatap tidak sempurna kepada pemuda yang berjalan di depannya.
"Tidak! Kita coba rute baru. Aku sudah muak membayar upeti di setiap perlintasan di jalan utama. Kalau begitu terus kapan kita dapat untung?" Si kakak berucap tanpa memandang adiknya, meskipun ingin tapi ada rasa enggan menatap wajah adiknya.
"Tapi kita tidak mengenal hutan ini kak, dan kata orang di desa, hutan ini menelan makhluk hidup-"
"Tidak ada yang lebih menakutkan selain manusia! Para petugas yang pemungut pajak dan para perampok di jalur sutera yang tak segan menggorok leher kita. Hutan tidak akan menyakiti kita, itu hanya cerita bualan untuk menakuti anak-anak."
"Tapi kak-" ucapan si pemuda juling tak selesai.
"Dik, daripada kamu memikirkan hal yang tidak jelas, lebih baik kamu urus keledaimu biar lebih cepat bergerak sebelum kaki kita membeku. Sial! Padahal sudah pagi tapi tetap saja di sini terasa dingin!"
Si adik tidak berkata apa-apa lagi dan fokus memaksa keledai di sampingnya untuk tetap bergerak, tapi keledai itu semakin tidak menurut dan mendadak berhenti.
"Kenapa? Apa keledaimu sudah kelelahan?" Si kakak mendelik mendapati kerepotan adiknya.
"Tidak kak, ini baru dua jam perjalanan sejak kita melewati sungai di batas desa. Biasanya dia lebih kuat berjalan lebih dari itu. Hutan ini menakutinya, Kak." Si adik sangat berharap kakaknya mau mengerti dan berubah pikiran.
"Jangan bicara yang aneh-aneh lagi! Kalau kamu tidak bisa membuat dia bergerak, akan kucambuk keledaimu, kalau perlu kujadikan bekal makanan!"
Untuk kesekian kali si pemuda juling mendapat omelan dari kakaknya. Dia lalu mengusap-usap kepala keledainya, membujuknya untuk bergerak kembali. Dia sudah merawat keledai itu dari kecil, dia tak akan rela keledainya disakiti. Tapi bujukan itu tetap tak mempan meskipun si pemuda juling memohon, keledai itu tetap tak mau bergerak.
"Ayolah, daripada kamu dimakan-"
"Dik, Aku berubah pikiran. Kalau keledaimu tak mau bergerak, tinggalkan saja! Kita yang memanggul dagangan."
"Tapi kak, perjalanan masih jauh-" kata-kata si adik tertahan di kerongkongan.
"Kita sudah sampai di tujuan, kita sudah sampai di pasar," ucap si kakak memandang penuh gairah melihat keramaian deretan lapak dagangan di hadapannya.
Entah sejak kapan mereka telah tiba di suatu pasar yang jalanannya penuh sesak dengan orang-orang. Lapak-lapak berisi dagangan bermacam-macam. Dengan orang sebanyak ini, si kakak yakin akan mendapat untung besar.
"Ayo turunkan bawaan Dik, kita harus segera mencari pemimpin pasar ini untuk meminta izin berdagang."
Si adik sebenarnya tak yakin dengan apa yang dia lihat, tapi dia tak punya kuasa untuk mendebat dan segera menurut permintaan kakaknya. Tak sampai penuh hitungan jari bungkusan kain yang harus diturunkan dari punggung keledai tapi berat semuanya hampir setara dengan berat keledai itu sendiri. Begitu selesai menurunkan semua bungkusan, si keledai tidak melewatkan kesempatan, segera berbalik arah dan kabur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pencari Arwah
Misteri / ThrillerKisah pemuda bernama Ravi yang bertugas sebagai seorang Seeker (pencari) orang - orang yang hilang, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Berbekal kepekaan mata batinnya, Ravi menggunakan kelebihannya untuk berkomunikasi dengan para arwah...