*Tahun 0004, Bulan 01, hari 13, pukul 07.30 Waktu Negeri Timur.
Di pertambangan Bukit Slarang.
Tangan Eno gemetar, berusaha memindahkan bongkahan batu untuk kesekian kalinya. Batu dengan berat hampir 5 kg berhasil dia lempar ke gundukan, menumpuk bersama batuan lain yang telah ia pindahkan 1 setengah jam yang lalu, bersama pekerja lain.
Dengan tubuhnya yang gemuk, semua aktifitas yang bergerak sangat membuatnya kepayahan, kalau hanya berlari saat bermain bola satu setengah jam pun dia akan kuat, karena tidak membawa beban, tidak ada tekanan, selain itu dia merasa gembira bisa berkumpul bersama teman-temannya.
Kali ini Eno masih bersama teman-temannya, kecuali Widi. Bedanya tidak ada kegembiraan kali ini, teman-temannya menangis, hingga air mata yang keluar tidak bisa dibedakan dengan peluh keringat. Kuku, jemari, telapak tangan dan kaki mereka berdarah-darah karena gesekan dengan permukaan batu yang kasar dan tajam.
Beberapa kali Eno melihat Andri terjatuh saat membawa batu, luka di lututnya semakin menganga lebar, darahnya tercampur dengan pasir dan kerikil, tak ada yang mengobati, semua orang sudah cukup repot memikirkan beban yang diderita masing-masing.
Yang pertama beban fisik karena energi terkuras membawa batuan yang berat, dan yang kedua beban mental menerima siksaan pukulan dan tendangan sepatu bot safety dengan lapisan besi yang menempel di ujung sepatu. Tidak ada kesempatan untuk meredakan rasa sakit, bila tidak segera kembali bekerja maka pukulan dan tendangan berikutnya akan menyusul.
Eno memperhatikan pemandangan lain yang lebih menyeramkan, sebuah tiang besi berbentuk "T" setinggi 10 meter tampak berdiri di tengah-tengah tambang seperti sebuah monumen, di bagian ujung atas tampak menggantung sesosok mayat sudah menjadi tengkorak dengan mulut terbuka karena lehernya terjerat tali, masih mengenakan pakaian wanita.
***
Di bagian pinggir tambang.
Bu Nasiran terlihat sedang memisahkan batu emas yang berkilau dengan batu biasa, dia tak bisa berhenti menangis, melihat warganya disiksa, dipaksa bekerja melebihi kapasitas normal, bahkan untuk minum saja hanya diberikan 1 kali per jam dan saat makan siang, tidak sebanding dengan peluh keringat yang telah terkuras. Dan mereka tetap dipaksa untuk terus bekerja dalam kehausan dan siksaan.
'Kesalahan apa yang telah kami lakukan? Hingga kami mendapat siksaan seperti ini?' suara kepedihan dalam hati Bu Nasiran.
Tiba-tiba Bu Nasiran teringat dengan Gombel, bagaimana warga desa telah sewena-wena memukuli dan memasung kakinya, untuk sebuah kesalahan yang tidak ia perbuat.
Kaki Bu Nasiran dan pekerja lain kini terikat oleh rantai merah, terkekang, persis seperti keadaan Gombel saat terpasung.
'Maafkan kami Nak.' Isak Bu Nasiran mengusap air matanya, dan kembali bekerja.
Sepintas dia melihat orang Suku Babakan membawa tombak berkumpul menatap dari atas tepi jurang, memandang ke arah para pekerja.*****
Di Desa Cimanggu,
"Sudah kau periksa vaksin itu?" tanya Bu Novita kepada petugas pamong praja kota.
"Sudah! Tadi diuji coba kepada anak buahku, sekarang dia masih pingsan di truk," ucap petugas pamong praja.
"Bagus, kalau begitu semua urusan ini kuserahkan pada kalian. Aku mau pergi dulu, aku ada janji mengajak putraku jalan-jalan," ucap Bu Novita.
"Anu, sebelum itu maaf Bu Walikota, kalau semua warga disuntik vaksin lalu pingsan, bagaimana kami mengangkut ratusan orang itu ke dalam truk? Apakah tidak sebaiknya warga yang sudah disuntik lalu disuruh menunggu di dalam truk, biar mereka pingsan di dalam truk, itu lebih mudah," ucap si petugas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pencari Arwah
Mistério / SuspenseKisah pemuda bernama Ravi yang bertugas sebagai seorang Seeker (pencari) orang - orang yang hilang, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Berbekal kepekaan mata batinnya, Ravi menggunakan kelebihannya untuk berkomunikasi dengan para arwah...